Senin, 26 November 2007

“MENYEIMBANGKAN Hak atas TANAH

Tinjauan Kasus :

Proses pembukaan perkebunan kelapa sawit oleh Perusahaan Besar Swasta (PBS) diwilayah masyarakat adat/lokal di Kalimantan Tengah.

Abstrak

“Semua bangsa berhak menentukan nasibnya sendiri, berdasarkan hak itulah mereka (Masy. Adat/Lokal) menentukan status politik, bebas memperoleh kemajuan sosial, ekonomi dan budaya”[1]

Mengingat dan mencermati perkembangan kenyataan di kehidupan masyarakat adat/lokal saat ini sangat bertolak belakang sekali dengan apa yang telah saya muat diatas berkenaan kesepakatan internasional yang salah satu negera kita Indonesia menyepakatinya. Hak masyarakat adat/lokal atas pengelolaan, pemanfaatan dan sekaligus menjaganya, asumsi saya mungkin tinggal 25% saja lagi masyarakat adat/lokal yang memiliki hak tersebut. Itupun jika tidak “Terebut” oleh penguasa investasi usaha negara maupun negara luar, demi kepentingan memperkaya investasi sebagai penambahan saat ini.

Kejadian demi kejadian, peristiwa ke peristiwa, sungguh memperihatinkan dalam 5 tahun terkahir ini (2002-2007), dimana pengwujudan penguasaan inevestasi luar melalui pembukaan perkebunan kelapa sawit makin menterpurukkan “Posisi” masyarakat adat/lokal atas hak-haknya. Misalkan saya baca di majalah Kalimantan Review (KR) terbitan CU, didalamnya memuat “Demo Sawit di Sanggau” yang intinya masyarakat adat/lokal Hak Guna Usaha (HGU) dikembalikan. Terus pemberitaan lokal (Kalteng Post) di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kecamatan Kota Besi tahun 2006 lalu, masyarakat adat/lokal demo dan mengadakan hearing ke DPRD menuntut konpensasi hak tanah dirampas oleh perusahaan PT. Suka Jadi Sawit Mekar (SJSM) dan seterusnya kejadian-kejadian tersebut. Hal ini mengindikasikan betapa lemahnya posisi dan keberadaan aturan masyarakat adat/lokal tidak seimbang dengan posisi pelaku kebijakan serta pengambil kebijakan terhadap hak tersebut di negara ini.

Memang sangat menyedihkan bilamana persoalan sosial, ekonomi dan budaya yang berada kehidupan masyarakat adat/lokal beranjak dari permasalahan tanah yang dikuasai oleh para perusahaan. Disamping itu pula berimplikasi pada ketidak seimbangan dalam proses penentuan yang “Posisi” tidak berimbang terkait bila ada transaksi “Konpensasi” yang selalu diikat oleh perusahaan terhadap masyarakat adat/lokal atas hak tanahnya. Hal ini ada 2 faktor penyebab yang saya asumsikan, yakni :

1. Pola pendekatan (Metode) perusahaan terhadap masyarakat adat/lokal yang wilayahnya akan dibuka areal kerja dalam upaya pengurusan penyelesaian tanah, tidak tepat. Sehingga banyaknya keluhan masyarakat adat/lokal dan perusahaan meninggalkan tanggung jawab atas pembayaran tanah setelah HGU ada.

2. Kurangnya masyarakat adat/lokal dalam mendorong dan memperkuat “Identitas” legal atas tanah, minimal menurut aturan mereka syah serta dapat dipertanggung jawabkan. Sehingga masyarakat adat/lokal tidak lagi menemukan adanya kewajaran bila perusahaan selalu memenangkan pertikaian hak pemanfaatan atas tanah.

Untuk itu, melalui tulisan ini saya ingin menghantarkan berkenaan pemahaman yang mesti dibangun tentang penguatan “Identitas” hak tanah oleh masyarakat adat/lokal untuk memperkuat “Posisi” terhadap kebijakan negara melalui pemerintah daerah dan para pengusaha Perkebunan Besar Swasta (PBS). Agar dalam proses negosiasi tentang penguatan hak lebih berkembang dan efektif, dimana mendudukan pada pemikiran masyarakat adat/lokal, pengambil kebijakan dan sub pelaksana kebijakan, yakni perusahaan, minimal dapat mengkompromikannya. Selain itu pula yang ingin saya singgung adalah pembelajaran bagi perusahaan yang mesti menekankan kewajiban sebagai pelaku investasi kepada masyarakat adat/lokal untuk mendukung “Hak” pengelolaan “Tetap” atas kepemilikan tanah melalui pola pendekatan di awal yang harus dirubah. Dimana perusahaan perkebunan tidak lebih dulu melakukan “Kadastral”, tetapi “Inventarisasi” dengan tujuan memperjelas kepemilikan atas hak tanah di dalam koridor hukum Indonesia dan aturan adat masyarakat setempat.

I. Tanah Persoalan “KLASIK” di sektor Perkebunan.

Persoalan tanah bila dikaitkan dengan kehidupan sosial masyarakat adat/lokal yang tersebar di Indonesia, sangat erat berhubungan “Identitas” bagi mereka. Kalau diibaratkan muncul persoalan tanah yang dianggap mengganggu dan membawa dampak kedepan oleh masyarakat adat/lokal, sama saja mengganggu “Harkat dan Martabat” mereka. Jadi memang tidak mudah bila pihak luar yang punya kepentingan besar terhadap tanah melalui persetujuan/kesepakatan pemiliknya, yakni masyarakat adat/lokal agar menegosiasikan dengan baik. Karena mereka akan membuat berbagai pertimbangan bila tanah “Dijual”, maka akan membawa kesengsaraan di kemudian hari sampai anak cucu mereka.

Makin banyak ditemui dari kasus ke kasus berkenaan tanah yang menjadi konflik awal disaat para investor memulai rencana kerja dan oprasionalnya di areal usaha. Ambil saja salah satu kasus di sektor perkebunan di wilayah Kalimantan Tengah. Dimana persoalan tanah hampir menjadi dominasi antara perusahaan Perkebunan Besar Swasta (PBS) dengan masyarakat adat/lokal disekitarnya. Hal ini dapat ditunjukkan dari data dan catatan yang pernah ditemukan sepanjang tahun 2001 s/d 2002 oleh Yayasan Tahanjungan Tarung (YTT) bersama Sawit Watch di satu wilayah kabupaten di Kalimantan Tengah, bahwa persoalan tanah lebih menonjol ketimbang persoalan lainnya, diantaranya pencemaran lingkungan dan pembakaran hutan/lahan. Lebih jelas dapat dilihat dibawah ini :

DATA-DATA SEBARAN KONFLIK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR KALIMANTAN TENGAH (Sekarang terbagi dengan Kabupaten Seruyan)

Tahun 2001/2002

No.

Perusahaan

Lokasi

Izin

Luas Areal (HGU)

Konflik

1.

PT.Agro Indomas

(1996)

Kecamatan Danau Sembuluh

HGU

12,104 ha

(12/HGU/BPN/98-6 April 1998)

- Kasus perebutan hak pengelolaan SDA antara perusahaan dengan masyarakat.

- Konflik tata ruang antar masyarakat desa. (Terawan Vs Bangkal)

- Kasus adanya indikasi pencemaran limbah CPO & polusi udara.

- Kasus tanah yang belum tuntas.

- Penggusuran tempat keramat (Kuburan) daerah sungai Dilam (Terawan).

- Konflik Horizontal.

- Pembakaran hutan.

2.

PT. Mustika Sembuluh

Kecamatan. Mentaya Hilir (Kuala Kuayan) Kotim

SK-Pelepasan Kawasan

15,994 ha

(895/Kpts-II/1996.4/11/1996)

3 thn 9 bln

- Konflik Horizontal.

- Konflik tanah.

3.

PT. Indotruba Timur

Kecamatan Pembuang Hulu

Izin Prinsip

9,750 ha

(895/Menhut-VII/97.8/8/1997)

- Tanah.

4.

PT. Salawati Makmur

Kecamatan Danau Sembuluh

Izin Prinsip

16,850 ha

(487/Menhutbun-II/98. 8/4/1998)

- Perebutan hak pengelolaan SDA.

- Penggusuran lahan masyarakat.

(Awal masuk, namun di tolak masyarakat dan samapai saat ini belum beroprasi).

5.

PT. Rungau Alam Subur.

Kecamatan Danau Sembuluh

Izin prinsip

6,725

1625/Menhutbun-II/96.11 Nop.1996)

Belum sama sekali beroprasi, namun sudah menimbulkan konflik Horizontal.

6.

PT. Salonuk Ladang Mas

Kecamatan Danau Sembuluh

Izin Prinsip

12,715 ha

(951/Menhutbun-VII/97. 26/8/97)

-SDA-

7.

PT. Sawit Mas Nugraha Perdana

Kecamatan Danau Sembuluh

Menyampaikan Permohonan.

12.000 ha

(525/67/UT/1995.17/4/1995)

- Konflik Horizontal.

- Kasus tanah belum tuntas.

- Perebutan hak pengelolaan SDA anatar perusahaan dengan masyarakat.

- Pelanggaran lingkungan seperti penutupan aliran sungai.(S.Kupang Halus & besar).

Sumber : Investigasi YTT & Sawit Watch 2001-2002

Berkenaan data-data yang telah di tunjukkan di atas, maka persoalan tanah, khususnya di Kalimantan Tengah, umumnya Indonesia, mungkin menjadi persoalan “Klasik” bagi kita, masyarakat adat/lokal dan pihak lainnya (Perusahaan/Pemerintah). Kalimat “Klasik” bila dipahami, hampir mendekati pengertian “Usang”, bahwa persoalan tanah tersebut terkait dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit, diawal sampai akhir ceritanya selalu demikian. Artinya, sampai kapan pun bila dibiarkan, maka implikasi negatif yang selalu diterima masyarakat adat/lokal adalah “Kekalahan”. Karena pihak perusahaan selalu menitik beratkan pada prosedur dan aturan hukum di Indonesia, dimana pemerintah daerah juga turut mendukung perusahaan dengan mengatakan, perusahaan sudah melalui berbagai prosedur serta proses hukum tersebut.

Konon juga yang saya pernah temui selama dilapangan melalui monitoring kasus perkebunan kelapa sawit, menurut orang-orang perusahaan yang sempat ditemui kala itu, jika perusahaan telah memiliki Hak Guna Usaha (HGU), maka proses konpensasi (Ganti rugi) yang dijadikan alat untuk merampas hak masyarakat adat/lokal atas tanah tidak akan “Dibayar”. Alhasil masyarakat adat/lokal yang berada disekitar perusahaan perkebunan, dimana sebagai pemilik atas tanah tersebut dipinggirkan hak-haknya. Hal ini dapat ditunjukkan disalah satu wilayah di Kabupaten Kotawaringin Timur, yakni Desa Natai Baru Kecamatan Mentaya Hilir Utara. Kasus yang temukan sampai pertengahan tahun 2003 lalu sebanyak 57 Kepala Keluaraga (KK) belum seperser pun mendapatkan konpensasi dari perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Sapta Karya Damai (SKD). Mungkin sampai saat ini, asumsi saya belum juga mendapatkan konpensasi tersebut.

Memang perusahaan sangat pintar untuk membangun strategi yang diperkuat dengan berbagai proses hukum yang telah mereka lalui dan menjadikan senjata “jitu” menghadapi tuntutan masyarakat adat/lokal atas hak tanah. Strategi yang saya maksud disini adalah, bagaimana sedapat mungkin perusahaan menjerat masyarakat adat/lokal saat mereka menuntut hak atas tanah yang sudah digarap terlebih dulu untuk diseret ke meja hijau. Agar tercapai tujuan dengan alat strategi tersebut, maka perusahaan membuat jebakan untuk memicu amarah masyarakat adat/lokal dengan mengulur waktu pembayaran atas tanah sampai HGU keluar. Contoh kasus berkenaan strategi perusahaan ini, dapat saya gambarkan melalui sedikit cerita yang pernah saya catat selama berada dilapangan, seperti dibawah ini :

Ketika 1996 telah terjadi perampasan hak pengelolaan lahan/tanah di masyarakat oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Mustika Sembuluh yang mengakibatkan salah satu warga desa telah ditangkap dan di hukum selama 2 tahun lamanya. Adapun nama dari salah satu warga tadi, yakni Pak Sukaryadi dan kejadian ini berawal, ketika Pak Sukaryadi mencoba mempertanyakan kembali lahannya yang telah tergarap oleh pihak perusahaan sebanyak 10 hektar dan Pak Sukaryadi memang bukan melihat dari sedikitnyanya lahan yang di tuntut atau harga uangnya, namun ini lebih pada persoalan hak untuk mendapatkan ganti rugi , apalagi lahan/tanah tersebut adalah warisan peninggalan dari Bapaknya yang bernama Pak Inter. Tuntutan yang di ungkapkan oleh Pak Sukaryadi kepada perusahaan sebanyak Rp. 500.000/hektarnya, namun pihak perusahaan hanya bisa mengganti Rp. 100.000/hektarnya dan ini tidak bisa di terima oleh Pak Sukaryadi tapi pihak perusahaan tetap saja memberikan harapan-harapan, bahwa permintaan Pak Sukaryadi nanti akan di pertimbangkan kembali, walaupun hasil penawaran dari pihak perusahaan sudah di ungkapkan.

Pak Sukaryadi akhirnya menunggu dari hasil pertimbangan tadi dari pihak perusahaan sampai pada bulan September 2000 dan tidak juga ada keputusan apa pun, padahal Pak Sukaryadi mempunyai pemikiran, kalau seandainya pihak perusahaan tidak bisa mengganti lahannya yang mempunyai tanam tumbuh di atasnya sebanyak tuntutan di kehendaki semula, bisa saja di terima apa adanya, di sebabkan lahannya sudah di garap dan di tanami oleh pihak perusahaan yang ketika itu menjadi pimpinan adalah Pak Mulio Bongso. Waktu yang di tunggu-tunggu sudah batas kewajaran, akhirnya Pak Sukaryadi mendatangi lahannya yang berada di areal perusahaan tersebut dan melakukan aksi pematokan bersama saudara, keluarga serta istrinya, namun di ketahui oleh pihak perusahaan dan datanglah Pak Mulio Bongso ke tempat lokasi terjadinya pematokan bersama sopir pribadinya, hingga terjadilah perang mulut di antara kedua belah pihak yang menyulut keinginan pada aksi anarkis dilakukan terlebih dahulu oleh Pak Sukaryadi, tapi sempat di lerai oleh sopir serta saudara dan istrinya untuk tidak meneruskan aksi tersebut.

Pak Sukaryadi merasa tidak terima, mencoba mengdukan pada pihak kepolisian, yakni Polres Sampit dan di tangkaplah Pak Sukaryadi di rumahnya dengan tuduhan penganiyaan serta ancaman kepada Pak Mulio Bongso dengan di beratkan oleh saksi yang tidak lain masih ada hubungan keluarga, yaitu Pak Ingging selaku Demang di Kampung, memang Pak Ingging ketika itu melihat, namun beliau telah termakan jasa oleh pihak perusahaan dengan mengatakan atau memberikan saksi yang tidak di terima oleh pihak korban, padahal menurut istri serta anaknya yang berumur 18 tahun kejadian tersebut belum sempat terjadinya aksi pemukulan atau lainnya karena sempat di sanggah oleh istri serta saudara lainnya tapi lagi di berita acara telah tertulis beberapa peralatan yang di gunakan oleh pelaku ketika aksi perkelahian itu terjadi, seperti, pipa paralon, linggis serta kayu ukuran 5x7 yang di ungkapkan oleh para saksi-saksi. Adapun lebih jelasnya nama-nama saksi-saksi tersebut, yakni Pak Ingging, sopir pribadi, dan dua masyarakat Pondok Damar lainnya.

Setelah melewati bebarapa proses persidangan, kahirnya di putuskan penahanan selama 5 tahun kurungan penjara oleh pengadilan negeri Sampit pada Januari 2001, namun ada permintaan dari pihak keluarga korban agar keputusan tersebut di kurangi atau naik banding dan di pertengahan Januari 2001, naik banding yang diminta di setujui oleh pihak pengadilan negeri Sampit dengan putusan 2 tahun masa tahanan dan di terimalah oleh Pak Sukaryadi bersama keluarganya, walaupun keadilan tidak berpihak pada meraka, padahal segala daya upaya telah dilakukan untuk membebaskan Pak Sukaryadi oleh pihak keluarganya, namun tidak ada membuah kan hasil.

(Nara sumber : Istri Pak Sukaryadi beserta anak 2 / 7 / 02, jam. 12.30 BBWI).[2]

Mencermati dan belajar dari data serta catatan kasus yang saya sajikan diatas, dapat saya asumsikan bahwa ada beberapa faktor yang cukup mempengaruhi pertikaian soal tanah yang bukan hal baru lagi terkait pembukaan perkebunan kelapa sawit. Faktor yang saya maksud, diantaranya 2 hal, yakni :

1). Perusahaan dalam melakukan pendekatan melalui sosialisasi dan penggarapan terlebih dulu terhadap lahan yang dipunyai masyarakat adat/lokal, tidak memakai metode dengan baik, seperti : perusahaan jangan terlebih dulu melakukan Kadastral (Ploting areal sesuai peruntukan dan dilakukan penggarapan lebih dulu), tetapi seharusnya lebih dulu dilakukan inventarisir dan verifikasi terhadap tanah-tanah hak masyarakat adat/lokal selama mereka kelola di desa/kampung tersebut. Sehingga mengarah ruang negosiasi atau mengkompromikan apakah masyarakat adat/lokal disekitar areal “setuju/tidak”. Jika “Iya”, maka dilakukan pengukuran secara bersama tapi jika sebaliknya, perusahaan tidak memaksa dan keluarkanlah tanah tersebut dari areal rencana penggarapan melalui ploting ulang serta membuat surat kesepakatan kedua belah pihak.

2). Masyarakat adat/lokal sejauh ini hanya mengandalkan tumbuhan dan atau tanaman yang berada di atas tanah yang dikelola mereka turun temurun sebagai bukti kepemilikan atas pengwujudan hak pemanfaatan. Sehingga masyarakat adat/lokal selalu dibenturkan dengan prosedur dan hukum kepemilikan tanah di Indonesia yang dihadapkan oleh perusahaan (Sertifikat). Jika demikian, maka masyarakat adat/lokal sampai kapanpun “Kalah” dan dipinggirkan status kepemilikan tanahnya melalui pelaksana kebijakan negara, yakni pemerintah daerah dan diturunkan mandatnya ke perusahaan. Jika menang pun akan dihadapkan kembali dengan berbagai proses di perusahaan dan pemerintah daerah setempat, hasilnya pembayaran konpensasi tidak sebanding dengan pengurusan kepemilikan tanah tersebut. Selain itu kemenangan juga belum menjamin, bahwa masyarakat adat/lokal akan menerima cepat pembayaran sebagai nilai konpensasi atas hak tanah melalui perusahaan.

II. Memperkuat “Identitas” Tanah terhadap Negara

Saya teringat dengan kalimat yang diutarakan oleh salah seorang tokoh masyarakat adat/lokal, yakni Pak Wardian di Desa Sembuluh I, “Tanah Air Ku Indonesia, Tanah Menyewa, Air Manukar (membeli)...”, seperti itulah kira-kira. Artinya sekelumit kalimat tersebut yang disampaikan beliau, tidak menutup kemungkinan akan terjadi dikemudian hari, bila masyarakat adat/lokal tidak mempersiapkan amunisi yang dianggap kuat dan bersifat argumentatif.

Beranjak 2 faktor yang dikulas di bagian atas (point 2) khusunya, sangat jelas bila masyarakat adat/lokal hanya tetap mengandalkan status kepemilikan lahan/tanah melalui bukti-bukti di atasnya (tanaman/tumbuhan), maka pada kondisi saat ini tetap saja di “Kalahkan” oleh pemerintah daerah dan pemilik modal (perusahaan). Masalah ini jika disadari oleh masyarakat adat/lokal, ada beberapa hal yang menjadi pengaruh terhadap “Kekalahan” yang selalu diterima. Diantaranya adalah tidak konsistennya masyarakat adat/lokal itu sendiri pada keberadaan aturan adat. Padahal sudah diakui oleh negara melalui berbagai produk kebijakan. Misalkan UUPA No. 5 tahun 1960, UU No. 41 Tentang Kehutanan tahun 1999 dan seterusnya. Hanya saja berbagai kebijakan tersebut tidak memperjelas posisi dan peran masyarakat adat/lokal terhadap negara. Maka yang dibutuhkan saat ini oleh mereka “Konsistensi dan Eksistensi” posisi dan peran agar dapat mewujudkan perluasan pemahaman keberadaan aturan adat yang diakui tersebut melalui membuat “Sejarah Kepemilikan Tanah/Lahan” sebagai pengwujudannya.

Belajar dari beberapa kasus yang pernah terjadi khususnya di Kalimantan Tengah berkenaan konflik tanah yang selalu ada antara masyarakat adat/lokal dengan pengusaha perkebunan kelapa sawit, sungguh sangat memprihatinkan (lihat tabel kasus diatas). Dimana ujung dari pertikaian tanah tersebut, masyarakat adat/lokal hanya gigit jari disaat perusahaan telah memiliki HGU dan selanjutnya tidak ada lagi klaim atas tanah untuk mendapatkan konpensasi (ganti rugi). Kalau saja tetap masyarakat adat/lokal menuntut selalu dihadapkan dengan prosedur dan proses hukum yang mesti dilalui, dimana mestinya tidak terjadi. Belum lagi ditambah dengan persoalan beberapa oknum masyarakat adat/lokal yang sering memanfaatkan situasi guna kepentingan pribadi dan berpatner dengan pihak perusahaan untuk membuat tekanan-tekanan moral melalui info serta data, misal memfiktifkan data-data tanah yang dibuat oleh Tim Identifikasi dan Verifikasi yang jumlahnya tergantung kebutuhan pembentukannya dari aparat desa dan kecamatan. Hal ini sering terjadi sebelum (ijin prinsip) dan saat mendapat HGU diperusahaan. Justru itu adanya Tim tersebut pun belum menjadi jaminan yang utuh terhadap eksistensi posisi dan peran masyarakat adat/lokal pada hak atas tanah terhadap perusahaan sebagai sub terkecil penerima dan pelaksana kebijakan negara.

Untuk itu, perjuangan masyarakat adat/lokal dalam menghadapi konflik tanah/lahan dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit, mesti diawal mempersiapkan surat “Sejarah Kepemilikan Tanah/Lahan”. Agar mempermudah dan memperkuat alasan-alasan tentang hak kepemilikan atas tanah/lahan tersebut. Pembuatan surat tersebut, bukan menempatkan masyarakat adat/lokal pada soal untuk “Menerima atau Menolak” perusahaan di wilayah mereka. Tetapi lebih pada membuat penegasan terhadap hak yang sepatutnya diperjuangkan melalui bagian implementasi dari aturan adat yang selama ini masyarakat adat/lokal miliki dan telah diakui keberadaannya oleh negara untuk menghadapi aksi-aksi perusahaan dilapangan dalam upaya mengelabui. Disamping itu, adanya “Sejarah Kepemilikan Tanah/Lahan” yang dibuat masyarakat adat/lokal adalah untuk membangun dan membuka ruang-ruang kompromi pada saat memunculkan posisi tawar terhadap perusahaan. Sehingga penegasan hak tersebut, minimal mempengaruhi keputusan-keputusan politik di perusahaan dan menghindari berbagai pengklaiman-pengklaiman yang menjadi “Tumpang Tindihnya” hak atas tanah/lahan tersebut oleh oknum yang memanfaatkan situasi.

Bila masyarakat adat/lokal dapat melakukan penguatan hak atas tanah/lahan melalui upaya penegasan di “Sejarah Kepemilikan Tanah/Lahan”, selanjutnya membangun ruang kompromi pada perusahaan yang akan membuka areal perkebunan kelapa sawit. Ada beberapa pertimbangan dan keuntungan sebagai jawaban, bila pertanyaan muncul “Apa Pentingnya Membuat Sejarah Kepemilikan Tanah/Lahan tersebut oleh meraka ?”, diantaranya :

1. Menghindari “Tumpang Tindihnya” hak kempemilikan tanah/lahan antar masyarakat adat/lokal yang sering dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu.

2. Secara tidak langsung hak kepemilikan atas tanah/lahan akan diakui oleh negara melalui pelaksana kebijakan (pemerintah daerah) serta sub terkecil pelaksana (perusahaan) dari berbagai kebijakan.

3. Secara tidak langsung masyarakat adat/lokal setempat “Konsisten” melaksanakan aturan-aturan adat setempat yang diperjuangkan melalui pembuatan “Sejarah Kepemilikan Tanah/Lahan terhadap pihak perusahaan.

4. Pemenuhan prasyarat untuk membangun ruang kompromi adalah “Mensetarakan/Meyeimbangkan” pada posisi yang harus sama antar kedua belah pihak, secara langsung telah diwujudkan oleh masyarakat adat/lokal melalui adanya surat “Sejarah Kepemilikan Tanah/Lahan” sebagai bagian penegasan posisi tersebut..

5. Secara tidak langsung pihak perusahaan telah terbantu dengan adanya penunjukan “Sejarah Kepemilikan Tanah/Lahan” oleh masyarakat adat/lokal, guna menghindari adanya tumpang tindih tanah/lahan. Jika sebelumnya perusahaan selalu dihadapkan dengan persoalan tersebut yang mengakibatkan peningkatan pada pembiayaan dan pembayaran konpensasi.

6. Secara langsung masyarakat adat/lokal mendorong pihak perusahaan harus melakukan perubahan pola pendekatan pada rencana kerja awal untuk pembukaan areal perkebunan kelapa sawit melalui “Inventarisasi” terlebih dulu, tidak melakukan lazimnya saat ini yakni “Kadastral”. Sehingga “Sejarah Kepemilikan Tanah/Lahan” yang dibuat masyarakat adat/lokal dapat teridentifikasi dengan baik dan akan membuat kemudahan-kemudahan proses berikutnya.

Palangka Raya, 09 September 2007


Andi Kiki

(Anggota SW / Koord. Advokasi MA-LAMAN)


[1] Pasal 1 “Konvenan Internasional Hak Sosial, Ekonomi, Budaya “

[2] Investigasi Dan Monitoring Kasus di PT. Mustika Sembuluh tahun 2002 (Doc. YTT & Sawit Watch)

Tidak ada komentar: