Senin, 26 November 2007

“Larangan Bakar LAHAN, Petani Tradisonal SENGSARA”

Penanggulangan kebakaran lahan di Kalimantan Tengah, sudah cukup lama terdengung sejak tahun 2002 sampai dengan 2006 lalu, dimana upaya yang dilakukan oleh pemerintah provinsi sampai pada pemerintah terkecil tingkat desa, kala itu masih tergolong hanya “himbauan”. Bentuk himbauan yang disampaikan pada masyarakat masih sebatas “Pelarangan” melalui media cetak dan berkomunikasi langsung yang dilakukan oleh pejabat setempat.

Memasuki tahun 2007, pemerintah Indonesia melalui kebijakannya, yakni Inpres yang dikeluarin tanggal 14 Juli 2007, mulai serius untuk penanganan bencana asap yang ditimbulkan oleh kebakaran lahan/hutan. Melalui kebijakan tersebut, selanjutnya diturunkan pada pemerintah-pemerintah daerah yang tersebar di Indonesia, diantaranya Kalimantan Tengah. Memang sebelumnya di Kalimantan Tengah sudah ada Perda No. 07 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan di wilayah Kota Palangka Raya. Namun dianggap pemerintah provinsi belum menyentuh pada target meminimalisir, bahkan sampai menghilangkan sama sekali bakar hutan/lahan tersebut.

Beracuan kebijakan pusat berkenaan pelarangan bakar hutan/lahan, maka pemerintah provinsi mengeluarkan produk turunannya, yakni Perda No. ...tahun 2007, tentang Pendayagunaan Tanah Terlantar Produk kebijakan ini saat disosialisasikan melalui kerja sama dengan CKPP (Central Kalimantan Peatland Programe) pada tanggal ....di tempat aula...Unpar. Pertemuan yang dihadiri langsung oleh Gubernur, Kapolda dan unsur muspida lainnya Dimana melalui pernyataan Gubernur, menekankan larangan bakar lahan, meski dalam bentuk apapun, diantaranya berladang. Ternyata banyak mengundang tanda tanya dan respon dari berbagai pihak terutama, kalangan NGo, Akademisi serta masyarakat. Respon yang mereka sampaikan sangat terhadap produk kebijakan tersebut, menurut mereka dinilai sangat mendiskriditkan budaya atau tradisi berladang sejak jaman dulu di masyarakat yang konsekwensinya adalah akan memotong mata rantai proses perladangan dan implikasi lainnya akan lebih memiskinkan kaum tani tradisonal yang sangat bergantung pada kebutuhan padi..

Mengingat pada sejarah berladang masyarakat dayak, khususnya di Kalimantan Tengah yang pernah ditulis dan dimuat di media Kalteng Post pada tanggal 20 Oktober 2002 dengan judul “ Ladang Berpindah, Tradisi Leluhur Masyarakat Dayak”. Isi dari tulisan tersebut intinya lebih pada mengupas proses demi proses yang menghantarkan tata cara berladang berpindah atau lebih dikenal dengan sebutan “Budaya Malan”, dimana disinggung sedikit didalamnya cara membakar pada musim kemarau yang telah dihitung oleh masyarakat dayak tersebut. Kebutuhan berladang melalui tradisi yang sudah ada, lebih pemenuhan kebutuhan pangan keluarga.

Dalam perkembangan selanjutnya tradisi tersebut hanya dimiliki dan dilakukan oleh sedikit masyarakat dan itupun lebih banyak kalangan tua, sementara yang muda kebanyakan merantau atau sekolah diluar. Artinya statment yang pernah dilontarkan oleh beberapa kalangan pemerintah maupun pihak lainnya (Perusahaan perkebunan kelapa sawit), dimana mengatakan “Peladang berpindah sebagai pelaku utama timbulnya kebakaran hutan/lahan alias sebagai kambing hitamnya”.Padahal hal tersebut sangat salah dan mesti dilihat kembali, bila dibandingkan dengan luasan perkebunan kelapa sawit yang acapkali juga melakukan pembakaran hutan/lahan diarealnya.

Justru itu pemerintah provinsi mesti mencermati implikasi yang tidak baik ini berkenaan kebijakan larangan bakar hutan/lahan bagi masyarakat. Karena asumsinya pendekatan atau pola menilai dan mengeluarkan kebijakan tersebut, pemerintah provinsi lebih pada jumlah pelaku tetapi tidak menyentuh pada luasan areal yang jadi penyebab timbulnya kebakaran hutan/lahan. Dan kalau dihitung secara terbuka, areal perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah ini yang lebih luas dari pada lahan yang dimiliki oleh para petani tradisonal, yakni masyarakat. Dibawah ini asumsi hitungan berdasarkan jumlah penduduk dalam 1 wilayah kabupaten (Contoh Kab. Kotawaringin Timur), yakni sebagai berikut :

Tabel Asumsi (4 Kecamatan di Kabupaten Kotawaringin Timur)

No

Kecamatan

Desa

Kepala Keluarga

(KK)

Luas Lahan

( Ha )

Persentasi Peladang

( % )

Bakar Ladang

( ± Ha )

1

Teluk Sampit

4

1. 585

1. 855

60

1. 500

2

Mentaya Hilir Selatan

8

4. 222

1. 320

45

1. 000

3

Pulau Hanaut

6

3. 873

1. 190

20

8. 00

4

Mentaya Hilir Utara

7

2. 006

215,9

10

2 00

Sumber Data Basis Asumsi :Rekapitulasi Tani, Nelayan dan Keluarga Miskin 2006, Bapeda- Kab. Kotawaringin Timur (Sampit)

Beranjak tabel asumsi diatas, maka cukup jelas bila pemerintah provinsi pendekatan pada pelaku pembakar hutan/lahan, petani tradisonal tidak ada apa-apanya sebagai pelaku pembakar. Karena luasan ladang yang mereka miliki tidak sebanding dengan luasan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang minimal 7.000 s/d 12. 000 ha dalam 1 (satu) areal perusahaan. Tetapi bila pemerintah pendekatan pada “pelaku/orang” jumlah para peladang yang banyak dibanding perusahaan di Kalimantan Tengah dan si peladang (masyarakat dayak) yang tetap akan “kalah” terhadap kebijakan tersebut.

Himbauan yang pernah dilontarkan oleh Presiden RI pada tanggal 16 Maret 2006 (Kalteng Post) judul “Prihatin “Ekspor” Asap, sangat jelas dan lebih menitik beratkan pada perusahaan perkebunan kelapa sawit sebagai bagian yang berkontribusi besar timbulnya “Asap” dari pembakaran lahan. Bila dikutip himbauan beliau, yaitu “Presiden meminta pemerintah daerah bekerjasama dengan pengusaha perkebunan sawit untuk menghilangkan praktik pembakaran hutan guna pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit”.

Kalau boleh dikatakan kebijakan pelarangan bakar hutan/lahan bagi siapa pun yang sudah ditegaskan oleh pemerintah provinsi Kalimantan Tengah, lebih terkesan diskriminasi terhadap keberlanjutan hidup petani tradisonal (masyarakat dayak). Hal ini dapat dicermati melalui sejauh mana efektifitas dan efesiensi yang tidak berimbang berkenaan kebijakan ini dilaksanakan lebih menekankan pada petani tradisonal tersebut. Secara efesiensi dapat tercapai dengan baik, yakni pengurangan dan menekan angka kebakaran hutan/lahan yang menimbulkan asap, sementara tidak efektif terhadap pemenuhan pangan bagi petani serta berdampak pada masyarakat luas di Kalimantan Tengah, misal alternatif pemenuhan kebutuhan salah satu sembako (beras). Selain itu pemberlakuan larangan bakar hutan/lahan ini juga terkesan tidak banyak menyentuh pada perusahaan perkebunan kelapa sawit. Salah satunya kasus di Kabupaten Seruyan yang diketahui 2 (dua) perusahaan, yakni PT. Sarana Titian Permata dan PT. Hamparan Mas Sawit Permada (Makin Group) melakukan pembakaran hutan/lahan untuk membuka perkebunan kelapa sawit pada tahun 2007, sejauh ini tidak menampakkan hasil yang memuaskan. Sementara petani tradisonal melakukan pembakaran hutan/lahan demi berladang untuk pemenuhan hidup keseharian mereka, langsung di tangkap di Km. 54 Cilik Riwut. Kejadian dan proses penangkapan dilakukan di tahun yang sama dan berselang beberapa bulan saja.

Jadi sangat ironis sekali pemerintah provinsi dan didukung oleh aparat kepolisian yang berwenang serta instansi terkait lainnya di Kalimantan Tengah, memberlakukan kebijakan pelarangan bakar hutan/lahan tidak menyeimbangkan penderitaan dan kesengsaraan yang “dipaksakan” lebih pada para petani tradisional (masyarakat dayak). Sementara kewajiban yang mesti dipenuhi oleh pemerintah provinsi pada masyarakatnya, terutama petani tradisional yakni melindungi, memberikan kenyamanan dan memfasilitasi berbagai kebutuhan mereka tidak terpenuhi dengan baik.

Masyarakat dayak yang kebanyakan peladang telah sengsara akibat kepentingan pemerintah provinsi terhadap kepentingan negara yang melegitimasi hujatan dari negara tetangga. Tidak secara langsung negara telah mengakui bahwa kontribusi terhadap asap yang ditimbulkan bahwa dari Indonesia, terlebih dari Kalimantan Tengah. Kebijakan larangan membakar hutan/lahan, memang sangat disadari seperti “buah Simalakama”, dimana disatu sisi kita penggiat dan aktivis lingkungan menghujat pemerintah dulunya untuk berbuat kongkrit dalam penanganan kebakaran hutan/lahan, namun saat ini kita dihadapkan pada masyarakat yang selalu kita bela untuk kepentingan bersama. Hal ini menurut cermat saya, ada beberapa faktor yang membuat berbeda antara NGo dan pemerintah provinsi terkait kebijakan larangan bakar hutan/lahan tersebut. Diantaranya, perspektif dalam pemahaman pemberlakuan dan perlakuan pada pihak yang di indikasikan sebagai pelaku pembakaran hutan/lahan harus “BERBEDA”, antara NGo dan pemerintah provinsi.

Menurut saya, kebijakan baru yang keluar dan pemberlakuan yang masih dini terhadap petani tradisonal (masyarakat dayak), tidak dibarengi dengan solusi atau konsep pemerintah yang dapat memberikan peluang untuk kelonggaran pelaksanaan pada petani tersebut. Padahal masyarakat dayak sudah menghadapi kebutuhan hidup yang makin meningkat sementara pemenuhan keseharian mereka, makin sempit. Terbukti, pemberantasan illegal loging sudah motong mata rantai hidup ekonomi mereka yang tidak diberengi pula dengan solusi, ditambah dengan kebijakan pelarangan bakar hutan/lahan, saya pikir makin menenggelamkan keberlanjutan sistem hidup keseharian masyarakat dayak sebagai petani tradisional. Disamping itu pula, tradisi yang sudah berpuluh-puluh tahun lalu, hilang dan makin menterpurukkan posisi masyarakat dayak pada peminggiran hak serta peran bersama dalam pembangunan di daerah.

Untuk itu, menurut saya, ada beberapa hal yang mesti dilakukan oleh masyarakat dayak sebagai petani tradisional dan NGo sebagai pembela hak masyarakat dayak serta sebagai aktivis lingkungan dan pemerintah provinsi sebagai pelaksana kebijakan pusat, diantaranya :

1. Masyarakat dayak sebagai petani tradisional, mesti dan harus memperkuat argumentasi untuk melakukan upaya perlawanan terhadap kebijakan tersebut melalui KONSOLIDASI BASIS serta MENDOKUMENTASIKAN berbagai pengetahuan berkenaan sistem perladangan dan bersama itu pula menginventarisir aturan-aturan adat yang selama ini dipatuhi terkait pemberlakuan perladangan tradisional di wilayah masing-masing.

2. Kawan-kawan penggiat dan aktivis lingkungan, baik dari berbagai kalangan (NGo, Akademisi, Individu), agar mulai MENDISKUSIKAN STRATEGI AKSI dan LOBBY terhadap pemerintah provinsi sampai kabupaten berkenaan upaya pembelaan terhadap masyarakat dayak/petani tradisional melalui inventarisir berbagai kebijakan serta hasil studi ilmiah dan berjaringan pada pihak-pihak luar yang dianggap strategis, dimana dapat mendukung penguatan gerakan basis terkait dengan kebijakan larangan bakar hutan/lahan di Kalimantan Tengah.

Palangka Raya, 16 September 2006

Terima Kasih,

Andi Kiki

(Anggota SW/Koord. Advokasi MA-LAMAN)

Tidak ada komentar: