Senin, 26 November 2007

Investasi : Kontribusi ”SUDAHKAH ?”

Asumsi Kasus : Perkebunan Skala Besar (PBS) di

Kalimantan Tengah

Abstrak

’Perusahaan yang tumbuh memberikan deviden yang lebih kecil daripada perusahaan yang tidak tumbuh karena laba yang ditahan yang dihasilkan perusahaan, sebagian besar dialokasikan untuk melakukan ekspansi.’

Kutipan tulisan diatas, saya dapat dari JURNAL BISNIS DAN EKONOMI, SEPTEMBER 2002,ANALISIS PERBEDAAN PERUSAHAAN TUMBUH DAN TIDAK TUMBUH oleh Yetty Iswahyuni dan L. Surayanto (Fak. Ekonomi Dipenogoro Semarang). Artinya jelas, bahwa investasi yang tumbuh dan berkembang, diakibatkan peningkatan ”Laba” dihasilkan dari usaha / produk lainnya di perusahaan, sebagai perluasan nilai investasi.

Penunjukkan adanya indikasi pada investasi yang notebenenya adalah perusahaan terhadap upaya peningkatan nilai investasi yang dapat memperluas nilai ”Laba”nya, bisa kita tinjau di Perusahaan Besar Swata (PBS). Disebabkan Perusahaan Besar Swasta (PBS) dalam memperlakukan investasi melalui usaha yang diawal, mesti cepat dan menguntungkan. Misalkan usaha di sektor agro bisnis, disebabkan lagi usaha ini dalam penanganannya lebih mudah pengurusan investasi, mulai proses perijinan sampai pada perlakuan yang cukup cepat untuk mendapatkan hasil.

Asumsi kasus yang diambil untuk menelaah ”Investasi ?! : Kontribusi ?!”berkenaan dengan sektor agro bisnis adalah pengembangan perkebunan kelapa sawit yang berskala besar. Usaha pada sektor ini cukup menjanjikan, meski nilai investasi juga lumayan besar di keluarkan pada tahap awal yang harus di keluarkan, yakni ± 4 Miliar (Ijin Prinsip)[1]. Belum lagi akan ditambah pada proses oprasional kebun serta pembayaran nilai konpensasi pada penduduk yang mempunyai lahan di areal kebun tersebut.

Untuk itu melalui tulisan ini, saya akan memberikan gambaran sederhana terkait nilai investasi suatu perusahaan terhadap pengembangan daerah dan melihat implikasinya pada kontribusi ke masyarakat adat/lokal setempat yang tersistematis. Tinjauan kasus yang akan saya coba paparkan, dapat memberikan pemahaman kritis untuk menilai produk investasi yang selama ini selalu dikatakan berkontribusi besar terhadap kesejahteraan masyarakat adat/lokal setempat, khususnya, maupun pada umumnya upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi pemerintah daerah sendiri.

Melirik kehidupan ekonomi masyarakat adat/lokal selama ini yang pola ketergantungan lebih banyak pada ketersediaan potensi alam yang diolah dan menghasilkan bagi pemenuhan sehari-hari, selalu terkepinggirkan oleh sistem ekonomi pasar yang dikuasai untuk memperkaya investasi tetapi tidak untuk memberdayakan investasi. Contohnya, bila pemerintah daerah sebagai bagian pelaksana sub terkecil dari negara, maka mesti lugas untuk menyatakan bahwa asset mesti dihitung pula orang yang hidup di dalam negara itu sendiri, yakni masyarakat adat/lokal. Tetapi pemerintah daerah hanya menghitung asset adalah materiil yang bersifat tidak bergerak, namun dapat diolah dan di manfaatkan, seperti tanah, air, udara, hutan dan seterusnya.

Melalui tulisan sederhana ini, kita mungkin akan mendapatkan kondisi ketidak seimbangan secara kongkrit posisi investasi terhadap asset yang masih jauh untuk dikatakan berkontribusi terhadap pengembangan masyarakat adat/lokal di daerah. Selain itu juga, kita akan menilai kemurnian niat investasi tersebut untuk memberikan ruang ekonomi yang kompromis terhadap pemberdayaan masyarakat adat/lokal.

***

I. Penjelmaan Investasi terhadap Kontribusi Tidak Menguntungkan

Pilihan pemerintah daerah untuk mengundang dan mendorong para investor masuk dalam skema ekonomi daerah melalui sektor perkebunan kelapa sawit, cukup menjanjikan bagi peningkatan nilai pendapatan daerah sendiri. Hal ini disebabkan ada beberapa faktor sebagai motivasi, diantaranya ; untuk mempercepat proses pengembangan dan pembangunan di daerah yang diharapkan implikasinya bukan saja menjawab kegelisahan perekonomian masyarakat adat/lokal, tapi juga akan memberikan nilai tambah pada pemerintah daerah tentang berhasilnya menjawab tantangan investor untuk kemudahan berinvestasi.

Beranjak dengan motivasi tersebut, ada beberapa hal kekurangan yang tidak dicermati oleh pemerintah daerah terhadap ketidak seimbangan investasi dengan kontribusi pada masyarakat adat/lokal setempat melalui pengambilan retrebusi tersistematis terhadap nilai investasi dari sebuah perusahaan. Kekurangan yang dimaksud diantaranya, pemerintah tidak memperhitungkan implikasi positif dari adanya perusahaan sebagai bagian produk investasi terhadap kelayakan hidup ekonomi secara mikro.

Sejauh ini belum ada secara implisit melakukan kajian pada perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit (PBS) yang menghitung adanya putaran uang dari berbagai transaksi, baik jual beli maupun sewa menyewa barang di 1 wilayah bersama adanya masyarakat adat/lokal setempat. Misalkan berapa total dalam 1 hari adanya nilai transaksi jual beli maupun sewa menyewa barang yang tidak dihitung. Padahal secara makro hal tersebut merupakan bagian prestasi perusahaan untuk meningkatkan legitimasi yang terukur bagi bursa saham mereka di tingkat nasional ataupun internasional. Disebabkan ada 2 faktor yang mempengaruhi prestasi tersebut menunjang jaminan bursa saham mereka selalu meningkat, minimal bertahan, yakni :

1). Perusahaan mampu menjawab tantangan krisis ekonomi berbasis pendapatan daerah yang berkontribusi pada masyarakat adat/lokal setempat.

2). Perusahaan mampu melalui nilai investasinya dapat menciptakan pengembangan ekonomi alternatif berbasiskan pemberdayaan masyarakat adat/lokal setempat.

Padahal, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang masuk pada kategori perusahaan tidak tumbuh, namun dapat berkembang dan menjadi produk andalan yang cukup menjanjikan bagi daerah, tidak secara langsung menenggelamkan produk investasi asli daerah (misal, tanah, hutan dan sungai). Dan kalau membuat perbandingan perhitungan, masih punya kelayakan pada nilai inevstasi jangka panjang yang diperuntukkan bagi kehidupan generasi akan datang. Namun pihak pemerintah daerah seakan-akan menutup segala bentuk kemungkinan pengembangan investasi asli daerah tersebut. Kalau saja ada program pemerintah daerah sekarang yang mempunyai kepedulian untuk pengembangan investasi asli daerah tersebut, hanya sebagai penyimbang bagi sistem pasar nasional maupun internasional yang dianggap menjaga kestabilan kebutuhan para produsen swasta lainnya dan keamanan ekonomi negara.

Jika pemerintah daerah berpikir dan melakukan hal yang sama seperti perusahaan, dimana bukan saja selalu menjual investasi asli daerah dalam bentuk potensi tenah, hutan dan sungai tetapi berupaya mengembangkan melalui memfasilitasi masyarakat adat/lokal dalam mempermudah untuk memproduksi, maka tidak menjadi kondisi saat ini. Hal ini disebabkan pemerintah daerah sebagai bagian sub pelaksana kebijakan negara tidak menempatkan adanya rakyat atau masyarakat adat/lokal sebagai bagian asset yang mestinya dihitung nilai investasinya. Tetapi negara hanya menghitung bentuk asset seperti tanah, hutan dan sungai. Maka masyarakat adat/lokal terkepinggirkan dalam hak-hak perimbangan ekonomi yang seharusnya di fasilitasi oleh pemerintah daerah. Namun masyarakat hanya dijadikan bagian asset yang selalu mengkonsumsi tidak menjadi produsen yang utuh. Karena perlakuan dan sikap pemerintah daerah terhadap investasi dari luar, mengalahkan nilai investasi asli daerah yang sebenarnya merupakan bagian asset yang selalu dipelihara serta dijaga keberlanjutannya.

Jadi sebenarnya, apa menguntungkan investasi luar dapat berkontribusi penuh pada kesejahteraan masyarakat adat/lokal ?.

II. Pola Konsumtif Pengaruhi Nilai Investasi Asli Daerah

Perhitungan nilai investasi asli daerah, sangat diyakini belum membuat perhitungan yang matang dan jelas. Dikarenakan perimbangan untuk memenuhi tanggung jawab pemerintah terhadap masyarakat adat/lokal melalui pendistribusian hasil dari retribusi, belum menjawab fasilitas yang dibutuhkan mereka. Sehingga, wajar masyarakat adat/lokal masih ada yang kehidupannya terpuruk (miskin). Dimana biaya kesehatan, biaya pendidikan masih mahal. Bahkan kebutuhan pokok pun makin meningkat. Padahal, jika pemerintah fear sekali lagi menegaskan, bahwa masyarakat adat/lokal merupakan asset yang akan menjadi bagian alat produksi negara, mestinya dipelihara dan difasilitasi berbagai kebutuhannya.

Konsumtif yang melekat pada masyarakat adat/lokal, semestinya dihitung berapa dalam 1 hari mereka melakukan transaksi jual beli dan tidak disadari menyumbang pada keberlanjutan roda ekonomi negara. Jika dihitung, maka pemerintah daerah seharusnya berubah pemikiran untuk memberdayakan masyarakat adat/lokal sebagai bagian ”alat” produksi yang mesti difasilitasi berbagai kebutuhannya. Tidak menterpurukkan masyarakt adat/lokal bagian mengkonsumsi yang menjadi pola tersistematis dan meligitimasi kekokohan serta keberadaan investasi luar untuk dibahasakan sebagai pemenuhan kebutuhan dan pemberdayaan ekonomi lokal.

Pola konsumtif yang ada saat ini di masyarakat adat/lokal dan seiring perubahan jaman, makin memperkuat asumsi bahwa nilai investasi asli daerah tidak ada apa-apanya. Hal ini diperkuat bila ditinjau dari penghitungan nilai ekonomi yang kompromis. Artinya, masyarakat adat/lokal sebenarnya sudah memiliki posisi yang kuat sebagai pemilik asset dan sebagai pelaku bagian yang mestinya dihitung didalam nilai investasi negara untuk dijadikan penawaran yang logis dan dinegosiasikan kebutuhan serta perlakuan ekonomi yang mestinya berimbang dengan investasi luar. Selama negara melalui pemerintah daerah tidak memfasilitasi kebutuhan masyarakat adat/lokal dan tidak mengakui keberdaan meraka untuk menegosiasikan nilai investasi yang dimiliki dan mengatakan dengan tegas pada dunia usaha pasar nasional maupun internasional, selama itu pula masyarakat adat/lokal tetap menjadi masyarakat konsumtif. Dimana selalu dikatakan ”Tidak Mampu (Skill)”, ”Tidak Punya Aturan”, ”Tidak Punya Wawasan” dan seterusnya oleh pelaku usaha luar.

Kasus yang mungkin dapat menjadi tinjauan menilai ekonomi yang tidak berimbang pada perlakuan pemerintah daerah terhadap masyarakat adat/lokal, dapat dilihat secara nyata di kehidupan sekitar perusahaan perkebunan kelapa sawit skala besar (PBS). Dimana nilai investasi asli daerah tidak ada apa-apanya dibandingkan nilai investasi usaha luar yang keberadaannya menjadi legitimasi bahwa masyarakat adat/lokal miskin.Hal ini dicermati ada beberapa faktor yang dapat menjadi asumsi, mengapa saat ini terjadi?, diantaranya : asset masyarakat adat/lokal (tanah, hutan dan sungai) sudah tergantikan menjadi sawit dan menjadi komoditi yang laris bagi perusahaan untuk mengikat mereka menjadi buruh. Sehingga kebutuhan keseharian mereka terpenuhi bukan dari pendapatan buruh tersebut, tetapi akan kembali meningkatkan nilai investasi luar (Image Usaha Pengaruhi Saham), disaat buruh membeli berbagai kebutuhannya yang tersedia di sekitar areal perusahaan. Misalkan, pasar yang dibangun perusahaan, beli motor melalui kredit yang dijamin perusahaan, bermain billiar karena adanya perusahaan dan seterusnya.

Faktor yang diasumsikan diatas, dapat kita lebih cermati dengan salah satu hasil penelitian yang mengeluarkan teori usaha yang dilakukan oleh perusahaan yang akan berkembang, seperti dibawah ini :

”Dasar teori yang digunakan adalah Smith and Watts (1992) menyatakan perusahaan yang berkembang akan memberikan gaji yang lebih besar kepada para eksekutifnya, dibanding dengan perusahaan yang tidak berkembang. Tingginya gaji ini disebabkan karena proses penyeleksian proyek-proyek investasi dianggap sebagai tugas yang perlu imbalan yang lebih tinggi daripada tugas mengawasi aset-aset perusahaan.”

Maka sangat wajar perlakuan ekonomi yang diterafkan perusahaan terhadap bentuk investasinya, mesti ada ”Keuntungan” balik terhadap pengurusan mata usaha yang akan memperkaya investasi, tetapi bukan memberdayakan investasi tersebut melalui pekerja level tinggi di perusahaan.

Untuk itu pola kosumtif yang selama ini tersistematis berada di masyarakat adat/lokal, bukan menjadikan ukuran pemerintah daerah, bahwa rakyatnya sejahtera atau tidak miskin lagi. Padahal pengaruh pola konsumtif masyarakat adat/lokal, malah mempengaruhi nilai investasi asli daerah (hutan, tanah dan sungai) jadi tidak punya harga terhadap pelaku usaha luar. Dan negara Indonesia selalu dikatakan tidak punya daya untuk memperdayakan investasi yang mestinya menjadi asset yang sangat tinggi nilainya, bila masyarakat adat/lokal difasilitasi kebutuhan untuk mengolah, mengelola dan memeliharanya sebagai hasil produk yang dapat bersaing di pasar nasional serta internasional.

III. Kesimpulan dan Rekomendasi

a). Kesimpulan :

Tulisan yang saya paparkan diatas, dapat memberikan kesimpulan yang memberikan pemahaman kritis berkenaan produk investasi luar belum sebanding dengan kontribusi pemerintah daerah terhadap masyarakat adat/lokal. Kesimpulan yang dimaksud adalah :

1. Pemerintah daerah tidak banyak tanggap terhadap permainan pasar yang sangat menguntungkan pelaku usaha luar melalui saham yang dapat meningkatkan nilai investasinya di negara asalnya. Saat perusahaan memberikan berbagai perlakuan ekonomi yang sifatnya memberdayakan masyarakat adat/lokal disekitar usahanya dan menjadikan nilai plus bagi peningkatan saham meraka. Sementara pemerintah hanya dapat kontribusi melalui penghitungan pajak (Retribusi) di level makro. Sehingga wajar bila pajak yang diterima oleh daerah masih sedikit dibandingkan dengan kontribusi masyarakat adat/lokal yang menjadi konsumtif lebih besar pemasukannya ke daerah.

2. Negara melalui pelaksananya yakni pemerintah daerah tidak memasukkan masyarakat adat/lokal sebagai bagian terpenting di dalam penghitungan nilai investasi asli daerah dalam bentuk asset. Sehingga pemerintah daerah hanya berpikir menjual asset yang memiliki nilai jual skala makro (hutan, tanah dan sungai) pada pelaku usaha luar dan menjadikan masyarakat adat/lokal hanya sebagai pelaku bersifat konsumtif yang memperkuat nilai investasi luar terhadap nilai investasi asli di tingkat lokal.

3. Negara melalui pemerintah daerah tidak punya BERGAIN POSITION yang jelas berkenaan upaya perbaikan ekonomi terhadap pelaku pasar nasional dan internasional, sehingga perlakuan 2 pasar tersebut melalui pelaku-pelaku usaha tetap mengintervensi segala bentuk perubahan kebijakan ekonomi negara dengan pengembangan dan memperkaya investasi mereka yang selalu mendiskreditkan nilai investasi asli daerah melalui asset yang tersedia saat ini (hutan, tanah dan sungai).

b). Rekomendasi :

1. Negara melalui pemerintah daerah setempat, agar membuat kajian dan perhitungan yang matang dalam memperlakukan kebijakan ekonomi lokal terhadap bentuk investasi luar, agar sistem penguasaan daerah masih tetap sebanding terhadap asset yang punya nilai investasi asli daerah tidak banyak dikuasai oleh pelaku usaha luar pula. Maka pemerintah mesti dan wajib selalu fasilitasi berbagai kebutuhan produksi masyarakat adat/lokal yang berawal dari pemberdayaan asset yang ada (rotan, karet dan seterusnya)

2. Negara melalui pemerintah daerah mesti mengakui keberadaan masyarakat adat/lokal di wilayah Indonesia secara umum, khususnya Kalimantan Tengah, yang bukan saja keberadaannya, tetapi posisinya yang mesti berimbang dengan pelaku usaha luar (Hak) dalam upaya pemberdayaan nilai investasi asli daerah.



Andi Kiki

(Anggota SW / Koord. Advokasi MA-LAMAN)



[1] Sumber LIRA (Lumbung Informasi Rakyat)

Tidak ada komentar: