Senin, 26 November 2007

“MENYEIMBANGKAN Hak atas TANAH

Tinjauan Kasus :

Proses pembukaan perkebunan kelapa sawit oleh Perusahaan Besar Swasta (PBS) diwilayah masyarakat adat/lokal di Kalimantan Tengah.

Abstrak

“Semua bangsa berhak menentukan nasibnya sendiri, berdasarkan hak itulah mereka (Masy. Adat/Lokal) menentukan status politik, bebas memperoleh kemajuan sosial, ekonomi dan budaya”[1]

Mengingat dan mencermati perkembangan kenyataan di kehidupan masyarakat adat/lokal saat ini sangat bertolak belakang sekali dengan apa yang telah saya muat diatas berkenaan kesepakatan internasional yang salah satu negera kita Indonesia menyepakatinya. Hak masyarakat adat/lokal atas pengelolaan, pemanfaatan dan sekaligus menjaganya, asumsi saya mungkin tinggal 25% saja lagi masyarakat adat/lokal yang memiliki hak tersebut. Itupun jika tidak “Terebut” oleh penguasa investasi usaha negara maupun negara luar, demi kepentingan memperkaya investasi sebagai penambahan saat ini.

Kejadian demi kejadian, peristiwa ke peristiwa, sungguh memperihatinkan dalam 5 tahun terkahir ini (2002-2007), dimana pengwujudan penguasaan inevestasi luar melalui pembukaan perkebunan kelapa sawit makin menterpurukkan “Posisi” masyarakat adat/lokal atas hak-haknya. Misalkan saya baca di majalah Kalimantan Review (KR) terbitan CU, didalamnya memuat “Demo Sawit di Sanggau” yang intinya masyarakat adat/lokal Hak Guna Usaha (HGU) dikembalikan. Terus pemberitaan lokal (Kalteng Post) di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kecamatan Kota Besi tahun 2006 lalu, masyarakat adat/lokal demo dan mengadakan hearing ke DPRD menuntut konpensasi hak tanah dirampas oleh perusahaan PT. Suka Jadi Sawit Mekar (SJSM) dan seterusnya kejadian-kejadian tersebut. Hal ini mengindikasikan betapa lemahnya posisi dan keberadaan aturan masyarakat adat/lokal tidak seimbang dengan posisi pelaku kebijakan serta pengambil kebijakan terhadap hak tersebut di negara ini.

Memang sangat menyedihkan bilamana persoalan sosial, ekonomi dan budaya yang berada kehidupan masyarakat adat/lokal beranjak dari permasalahan tanah yang dikuasai oleh para perusahaan. Disamping itu pula berimplikasi pada ketidak seimbangan dalam proses penentuan yang “Posisi” tidak berimbang terkait bila ada transaksi “Konpensasi” yang selalu diikat oleh perusahaan terhadap masyarakat adat/lokal atas hak tanahnya. Hal ini ada 2 faktor penyebab yang saya asumsikan, yakni :

1. Pola pendekatan (Metode) perusahaan terhadap masyarakat adat/lokal yang wilayahnya akan dibuka areal kerja dalam upaya pengurusan penyelesaian tanah, tidak tepat. Sehingga banyaknya keluhan masyarakat adat/lokal dan perusahaan meninggalkan tanggung jawab atas pembayaran tanah setelah HGU ada.

2. Kurangnya masyarakat adat/lokal dalam mendorong dan memperkuat “Identitas” legal atas tanah, minimal menurut aturan mereka syah serta dapat dipertanggung jawabkan. Sehingga masyarakat adat/lokal tidak lagi menemukan adanya kewajaran bila perusahaan selalu memenangkan pertikaian hak pemanfaatan atas tanah.

Untuk itu, melalui tulisan ini saya ingin menghantarkan berkenaan pemahaman yang mesti dibangun tentang penguatan “Identitas” hak tanah oleh masyarakat adat/lokal untuk memperkuat “Posisi” terhadap kebijakan negara melalui pemerintah daerah dan para pengusaha Perkebunan Besar Swasta (PBS). Agar dalam proses negosiasi tentang penguatan hak lebih berkembang dan efektif, dimana mendudukan pada pemikiran masyarakat adat/lokal, pengambil kebijakan dan sub pelaksana kebijakan, yakni perusahaan, minimal dapat mengkompromikannya. Selain itu pula yang ingin saya singgung adalah pembelajaran bagi perusahaan yang mesti menekankan kewajiban sebagai pelaku investasi kepada masyarakat adat/lokal untuk mendukung “Hak” pengelolaan “Tetap” atas kepemilikan tanah melalui pola pendekatan di awal yang harus dirubah. Dimana perusahaan perkebunan tidak lebih dulu melakukan “Kadastral”, tetapi “Inventarisasi” dengan tujuan memperjelas kepemilikan atas hak tanah di dalam koridor hukum Indonesia dan aturan adat masyarakat setempat.

I. Tanah Persoalan “KLASIK” di sektor Perkebunan.

Persoalan tanah bila dikaitkan dengan kehidupan sosial masyarakat adat/lokal yang tersebar di Indonesia, sangat erat berhubungan “Identitas” bagi mereka. Kalau diibaratkan muncul persoalan tanah yang dianggap mengganggu dan membawa dampak kedepan oleh masyarakat adat/lokal, sama saja mengganggu “Harkat dan Martabat” mereka. Jadi memang tidak mudah bila pihak luar yang punya kepentingan besar terhadap tanah melalui persetujuan/kesepakatan pemiliknya, yakni masyarakat adat/lokal agar menegosiasikan dengan baik. Karena mereka akan membuat berbagai pertimbangan bila tanah “Dijual”, maka akan membawa kesengsaraan di kemudian hari sampai anak cucu mereka.

Makin banyak ditemui dari kasus ke kasus berkenaan tanah yang menjadi konflik awal disaat para investor memulai rencana kerja dan oprasionalnya di areal usaha. Ambil saja salah satu kasus di sektor perkebunan di wilayah Kalimantan Tengah. Dimana persoalan tanah hampir menjadi dominasi antara perusahaan Perkebunan Besar Swasta (PBS) dengan masyarakat adat/lokal disekitarnya. Hal ini dapat ditunjukkan dari data dan catatan yang pernah ditemukan sepanjang tahun 2001 s/d 2002 oleh Yayasan Tahanjungan Tarung (YTT) bersama Sawit Watch di satu wilayah kabupaten di Kalimantan Tengah, bahwa persoalan tanah lebih menonjol ketimbang persoalan lainnya, diantaranya pencemaran lingkungan dan pembakaran hutan/lahan. Lebih jelas dapat dilihat dibawah ini :

DATA-DATA SEBARAN KONFLIK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR KALIMANTAN TENGAH (Sekarang terbagi dengan Kabupaten Seruyan)

Tahun 2001/2002

No.

Perusahaan

Lokasi

Izin

Luas Areal (HGU)

Konflik

1.

PT.Agro Indomas

(1996)

Kecamatan Danau Sembuluh

HGU

12,104 ha

(12/HGU/BPN/98-6 April 1998)

- Kasus perebutan hak pengelolaan SDA antara perusahaan dengan masyarakat.

- Konflik tata ruang antar masyarakat desa. (Terawan Vs Bangkal)

- Kasus adanya indikasi pencemaran limbah CPO & polusi udara.

- Kasus tanah yang belum tuntas.

- Penggusuran tempat keramat (Kuburan) daerah sungai Dilam (Terawan).

- Konflik Horizontal.

- Pembakaran hutan.

2.

PT. Mustika Sembuluh

Kecamatan. Mentaya Hilir (Kuala Kuayan) Kotim

SK-Pelepasan Kawasan

15,994 ha

(895/Kpts-II/1996.4/11/1996)

3 thn 9 bln

- Konflik Horizontal.

- Konflik tanah.

3.

PT. Indotruba Timur

Kecamatan Pembuang Hulu

Izin Prinsip

9,750 ha

(895/Menhut-VII/97.8/8/1997)

- Tanah.

4.

PT. Salawati Makmur

Kecamatan Danau Sembuluh

Izin Prinsip

16,850 ha

(487/Menhutbun-II/98. 8/4/1998)

- Perebutan hak pengelolaan SDA.

- Penggusuran lahan masyarakat.

(Awal masuk, namun di tolak masyarakat dan samapai saat ini belum beroprasi).

5.

PT. Rungau Alam Subur.

Kecamatan Danau Sembuluh

Izin prinsip

6,725

1625/Menhutbun-II/96.11 Nop.1996)

Belum sama sekali beroprasi, namun sudah menimbulkan konflik Horizontal.

6.

PT. Salonuk Ladang Mas

Kecamatan Danau Sembuluh

Izin Prinsip

12,715 ha

(951/Menhutbun-VII/97. 26/8/97)

-SDA-

7.

PT. Sawit Mas Nugraha Perdana

Kecamatan Danau Sembuluh

Menyampaikan Permohonan.

12.000 ha

(525/67/UT/1995.17/4/1995)

- Konflik Horizontal.

- Kasus tanah belum tuntas.

- Perebutan hak pengelolaan SDA anatar perusahaan dengan masyarakat.

- Pelanggaran lingkungan seperti penutupan aliran sungai.(S.Kupang Halus & besar).

Sumber : Investigasi YTT & Sawit Watch 2001-2002

Berkenaan data-data yang telah di tunjukkan di atas, maka persoalan tanah, khususnya di Kalimantan Tengah, umumnya Indonesia, mungkin menjadi persoalan “Klasik” bagi kita, masyarakat adat/lokal dan pihak lainnya (Perusahaan/Pemerintah). Kalimat “Klasik” bila dipahami, hampir mendekati pengertian “Usang”, bahwa persoalan tanah tersebut terkait dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit, diawal sampai akhir ceritanya selalu demikian. Artinya, sampai kapan pun bila dibiarkan, maka implikasi negatif yang selalu diterima masyarakat adat/lokal adalah “Kekalahan”. Karena pihak perusahaan selalu menitik beratkan pada prosedur dan aturan hukum di Indonesia, dimana pemerintah daerah juga turut mendukung perusahaan dengan mengatakan, perusahaan sudah melalui berbagai prosedur serta proses hukum tersebut.

Konon juga yang saya pernah temui selama dilapangan melalui monitoring kasus perkebunan kelapa sawit, menurut orang-orang perusahaan yang sempat ditemui kala itu, jika perusahaan telah memiliki Hak Guna Usaha (HGU), maka proses konpensasi (Ganti rugi) yang dijadikan alat untuk merampas hak masyarakat adat/lokal atas tanah tidak akan “Dibayar”. Alhasil masyarakat adat/lokal yang berada disekitar perusahaan perkebunan, dimana sebagai pemilik atas tanah tersebut dipinggirkan hak-haknya. Hal ini dapat ditunjukkan disalah satu wilayah di Kabupaten Kotawaringin Timur, yakni Desa Natai Baru Kecamatan Mentaya Hilir Utara. Kasus yang temukan sampai pertengahan tahun 2003 lalu sebanyak 57 Kepala Keluaraga (KK) belum seperser pun mendapatkan konpensasi dari perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Sapta Karya Damai (SKD). Mungkin sampai saat ini, asumsi saya belum juga mendapatkan konpensasi tersebut.

Memang perusahaan sangat pintar untuk membangun strategi yang diperkuat dengan berbagai proses hukum yang telah mereka lalui dan menjadikan senjata “jitu” menghadapi tuntutan masyarakat adat/lokal atas hak tanah. Strategi yang saya maksud disini adalah, bagaimana sedapat mungkin perusahaan menjerat masyarakat adat/lokal saat mereka menuntut hak atas tanah yang sudah digarap terlebih dulu untuk diseret ke meja hijau. Agar tercapai tujuan dengan alat strategi tersebut, maka perusahaan membuat jebakan untuk memicu amarah masyarakat adat/lokal dengan mengulur waktu pembayaran atas tanah sampai HGU keluar. Contoh kasus berkenaan strategi perusahaan ini, dapat saya gambarkan melalui sedikit cerita yang pernah saya catat selama berada dilapangan, seperti dibawah ini :

Ketika 1996 telah terjadi perampasan hak pengelolaan lahan/tanah di masyarakat oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Mustika Sembuluh yang mengakibatkan salah satu warga desa telah ditangkap dan di hukum selama 2 tahun lamanya. Adapun nama dari salah satu warga tadi, yakni Pak Sukaryadi dan kejadian ini berawal, ketika Pak Sukaryadi mencoba mempertanyakan kembali lahannya yang telah tergarap oleh pihak perusahaan sebanyak 10 hektar dan Pak Sukaryadi memang bukan melihat dari sedikitnyanya lahan yang di tuntut atau harga uangnya, namun ini lebih pada persoalan hak untuk mendapatkan ganti rugi , apalagi lahan/tanah tersebut adalah warisan peninggalan dari Bapaknya yang bernama Pak Inter. Tuntutan yang di ungkapkan oleh Pak Sukaryadi kepada perusahaan sebanyak Rp. 500.000/hektarnya, namun pihak perusahaan hanya bisa mengganti Rp. 100.000/hektarnya dan ini tidak bisa di terima oleh Pak Sukaryadi tapi pihak perusahaan tetap saja memberikan harapan-harapan, bahwa permintaan Pak Sukaryadi nanti akan di pertimbangkan kembali, walaupun hasil penawaran dari pihak perusahaan sudah di ungkapkan.

Pak Sukaryadi akhirnya menunggu dari hasil pertimbangan tadi dari pihak perusahaan sampai pada bulan September 2000 dan tidak juga ada keputusan apa pun, padahal Pak Sukaryadi mempunyai pemikiran, kalau seandainya pihak perusahaan tidak bisa mengganti lahannya yang mempunyai tanam tumbuh di atasnya sebanyak tuntutan di kehendaki semula, bisa saja di terima apa adanya, di sebabkan lahannya sudah di garap dan di tanami oleh pihak perusahaan yang ketika itu menjadi pimpinan adalah Pak Mulio Bongso. Waktu yang di tunggu-tunggu sudah batas kewajaran, akhirnya Pak Sukaryadi mendatangi lahannya yang berada di areal perusahaan tersebut dan melakukan aksi pematokan bersama saudara, keluarga serta istrinya, namun di ketahui oleh pihak perusahaan dan datanglah Pak Mulio Bongso ke tempat lokasi terjadinya pematokan bersama sopir pribadinya, hingga terjadilah perang mulut di antara kedua belah pihak yang menyulut keinginan pada aksi anarkis dilakukan terlebih dahulu oleh Pak Sukaryadi, tapi sempat di lerai oleh sopir serta saudara dan istrinya untuk tidak meneruskan aksi tersebut.

Pak Sukaryadi merasa tidak terima, mencoba mengdukan pada pihak kepolisian, yakni Polres Sampit dan di tangkaplah Pak Sukaryadi di rumahnya dengan tuduhan penganiyaan serta ancaman kepada Pak Mulio Bongso dengan di beratkan oleh saksi yang tidak lain masih ada hubungan keluarga, yaitu Pak Ingging selaku Demang di Kampung, memang Pak Ingging ketika itu melihat, namun beliau telah termakan jasa oleh pihak perusahaan dengan mengatakan atau memberikan saksi yang tidak di terima oleh pihak korban, padahal menurut istri serta anaknya yang berumur 18 tahun kejadian tersebut belum sempat terjadinya aksi pemukulan atau lainnya karena sempat di sanggah oleh istri serta saudara lainnya tapi lagi di berita acara telah tertulis beberapa peralatan yang di gunakan oleh pelaku ketika aksi perkelahian itu terjadi, seperti, pipa paralon, linggis serta kayu ukuran 5x7 yang di ungkapkan oleh para saksi-saksi. Adapun lebih jelasnya nama-nama saksi-saksi tersebut, yakni Pak Ingging, sopir pribadi, dan dua masyarakat Pondok Damar lainnya.

Setelah melewati bebarapa proses persidangan, kahirnya di putuskan penahanan selama 5 tahun kurungan penjara oleh pengadilan negeri Sampit pada Januari 2001, namun ada permintaan dari pihak keluarga korban agar keputusan tersebut di kurangi atau naik banding dan di pertengahan Januari 2001, naik banding yang diminta di setujui oleh pihak pengadilan negeri Sampit dengan putusan 2 tahun masa tahanan dan di terimalah oleh Pak Sukaryadi bersama keluarganya, walaupun keadilan tidak berpihak pada meraka, padahal segala daya upaya telah dilakukan untuk membebaskan Pak Sukaryadi oleh pihak keluarganya, namun tidak ada membuah kan hasil.

(Nara sumber : Istri Pak Sukaryadi beserta anak 2 / 7 / 02, jam. 12.30 BBWI).[2]

Mencermati dan belajar dari data serta catatan kasus yang saya sajikan diatas, dapat saya asumsikan bahwa ada beberapa faktor yang cukup mempengaruhi pertikaian soal tanah yang bukan hal baru lagi terkait pembukaan perkebunan kelapa sawit. Faktor yang saya maksud, diantaranya 2 hal, yakni :

1). Perusahaan dalam melakukan pendekatan melalui sosialisasi dan penggarapan terlebih dulu terhadap lahan yang dipunyai masyarakat adat/lokal, tidak memakai metode dengan baik, seperti : perusahaan jangan terlebih dulu melakukan Kadastral (Ploting areal sesuai peruntukan dan dilakukan penggarapan lebih dulu), tetapi seharusnya lebih dulu dilakukan inventarisir dan verifikasi terhadap tanah-tanah hak masyarakat adat/lokal selama mereka kelola di desa/kampung tersebut. Sehingga mengarah ruang negosiasi atau mengkompromikan apakah masyarakat adat/lokal disekitar areal “setuju/tidak”. Jika “Iya”, maka dilakukan pengukuran secara bersama tapi jika sebaliknya, perusahaan tidak memaksa dan keluarkanlah tanah tersebut dari areal rencana penggarapan melalui ploting ulang serta membuat surat kesepakatan kedua belah pihak.

2). Masyarakat adat/lokal sejauh ini hanya mengandalkan tumbuhan dan atau tanaman yang berada di atas tanah yang dikelola mereka turun temurun sebagai bukti kepemilikan atas pengwujudan hak pemanfaatan. Sehingga masyarakat adat/lokal selalu dibenturkan dengan prosedur dan hukum kepemilikan tanah di Indonesia yang dihadapkan oleh perusahaan (Sertifikat). Jika demikian, maka masyarakat adat/lokal sampai kapanpun “Kalah” dan dipinggirkan status kepemilikan tanahnya melalui pelaksana kebijakan negara, yakni pemerintah daerah dan diturunkan mandatnya ke perusahaan. Jika menang pun akan dihadapkan kembali dengan berbagai proses di perusahaan dan pemerintah daerah setempat, hasilnya pembayaran konpensasi tidak sebanding dengan pengurusan kepemilikan tanah tersebut. Selain itu kemenangan juga belum menjamin, bahwa masyarakat adat/lokal akan menerima cepat pembayaran sebagai nilai konpensasi atas hak tanah melalui perusahaan.

II. Memperkuat “Identitas” Tanah terhadap Negara

Saya teringat dengan kalimat yang diutarakan oleh salah seorang tokoh masyarakat adat/lokal, yakni Pak Wardian di Desa Sembuluh I, “Tanah Air Ku Indonesia, Tanah Menyewa, Air Manukar (membeli)...”, seperti itulah kira-kira. Artinya sekelumit kalimat tersebut yang disampaikan beliau, tidak menutup kemungkinan akan terjadi dikemudian hari, bila masyarakat adat/lokal tidak mempersiapkan amunisi yang dianggap kuat dan bersifat argumentatif.

Beranjak 2 faktor yang dikulas di bagian atas (point 2) khusunya, sangat jelas bila masyarakat adat/lokal hanya tetap mengandalkan status kepemilikan lahan/tanah melalui bukti-bukti di atasnya (tanaman/tumbuhan), maka pada kondisi saat ini tetap saja di “Kalahkan” oleh pemerintah daerah dan pemilik modal (perusahaan). Masalah ini jika disadari oleh masyarakat adat/lokal, ada beberapa hal yang menjadi pengaruh terhadap “Kekalahan” yang selalu diterima. Diantaranya adalah tidak konsistennya masyarakat adat/lokal itu sendiri pada keberadaan aturan adat. Padahal sudah diakui oleh negara melalui berbagai produk kebijakan. Misalkan UUPA No. 5 tahun 1960, UU No. 41 Tentang Kehutanan tahun 1999 dan seterusnya. Hanya saja berbagai kebijakan tersebut tidak memperjelas posisi dan peran masyarakat adat/lokal terhadap negara. Maka yang dibutuhkan saat ini oleh mereka “Konsistensi dan Eksistensi” posisi dan peran agar dapat mewujudkan perluasan pemahaman keberadaan aturan adat yang diakui tersebut melalui membuat “Sejarah Kepemilikan Tanah/Lahan” sebagai pengwujudannya.

Belajar dari beberapa kasus yang pernah terjadi khususnya di Kalimantan Tengah berkenaan konflik tanah yang selalu ada antara masyarakat adat/lokal dengan pengusaha perkebunan kelapa sawit, sungguh sangat memprihatinkan (lihat tabel kasus diatas). Dimana ujung dari pertikaian tanah tersebut, masyarakat adat/lokal hanya gigit jari disaat perusahaan telah memiliki HGU dan selanjutnya tidak ada lagi klaim atas tanah untuk mendapatkan konpensasi (ganti rugi). Kalau saja tetap masyarakat adat/lokal menuntut selalu dihadapkan dengan prosedur dan proses hukum yang mesti dilalui, dimana mestinya tidak terjadi. Belum lagi ditambah dengan persoalan beberapa oknum masyarakat adat/lokal yang sering memanfaatkan situasi guna kepentingan pribadi dan berpatner dengan pihak perusahaan untuk membuat tekanan-tekanan moral melalui info serta data, misal memfiktifkan data-data tanah yang dibuat oleh Tim Identifikasi dan Verifikasi yang jumlahnya tergantung kebutuhan pembentukannya dari aparat desa dan kecamatan. Hal ini sering terjadi sebelum (ijin prinsip) dan saat mendapat HGU diperusahaan. Justru itu adanya Tim tersebut pun belum menjadi jaminan yang utuh terhadap eksistensi posisi dan peran masyarakat adat/lokal pada hak atas tanah terhadap perusahaan sebagai sub terkecil penerima dan pelaksana kebijakan negara.

Untuk itu, perjuangan masyarakat adat/lokal dalam menghadapi konflik tanah/lahan dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit, mesti diawal mempersiapkan surat “Sejarah Kepemilikan Tanah/Lahan”. Agar mempermudah dan memperkuat alasan-alasan tentang hak kepemilikan atas tanah/lahan tersebut. Pembuatan surat tersebut, bukan menempatkan masyarakat adat/lokal pada soal untuk “Menerima atau Menolak” perusahaan di wilayah mereka. Tetapi lebih pada membuat penegasan terhadap hak yang sepatutnya diperjuangkan melalui bagian implementasi dari aturan adat yang selama ini masyarakat adat/lokal miliki dan telah diakui keberadaannya oleh negara untuk menghadapi aksi-aksi perusahaan dilapangan dalam upaya mengelabui. Disamping itu, adanya “Sejarah Kepemilikan Tanah/Lahan” yang dibuat masyarakat adat/lokal adalah untuk membangun dan membuka ruang-ruang kompromi pada saat memunculkan posisi tawar terhadap perusahaan. Sehingga penegasan hak tersebut, minimal mempengaruhi keputusan-keputusan politik di perusahaan dan menghindari berbagai pengklaiman-pengklaiman yang menjadi “Tumpang Tindihnya” hak atas tanah/lahan tersebut oleh oknum yang memanfaatkan situasi.

Bila masyarakat adat/lokal dapat melakukan penguatan hak atas tanah/lahan melalui upaya penegasan di “Sejarah Kepemilikan Tanah/Lahan”, selanjutnya membangun ruang kompromi pada perusahaan yang akan membuka areal perkebunan kelapa sawit. Ada beberapa pertimbangan dan keuntungan sebagai jawaban, bila pertanyaan muncul “Apa Pentingnya Membuat Sejarah Kepemilikan Tanah/Lahan tersebut oleh meraka ?”, diantaranya :

1. Menghindari “Tumpang Tindihnya” hak kempemilikan tanah/lahan antar masyarakat adat/lokal yang sering dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu.

2. Secara tidak langsung hak kepemilikan atas tanah/lahan akan diakui oleh negara melalui pelaksana kebijakan (pemerintah daerah) serta sub terkecil pelaksana (perusahaan) dari berbagai kebijakan.

3. Secara tidak langsung masyarakat adat/lokal setempat “Konsisten” melaksanakan aturan-aturan adat setempat yang diperjuangkan melalui pembuatan “Sejarah Kepemilikan Tanah/Lahan terhadap pihak perusahaan.

4. Pemenuhan prasyarat untuk membangun ruang kompromi adalah “Mensetarakan/Meyeimbangkan” pada posisi yang harus sama antar kedua belah pihak, secara langsung telah diwujudkan oleh masyarakat adat/lokal melalui adanya surat “Sejarah Kepemilikan Tanah/Lahan” sebagai bagian penegasan posisi tersebut..

5. Secara tidak langsung pihak perusahaan telah terbantu dengan adanya penunjukan “Sejarah Kepemilikan Tanah/Lahan” oleh masyarakat adat/lokal, guna menghindari adanya tumpang tindih tanah/lahan. Jika sebelumnya perusahaan selalu dihadapkan dengan persoalan tersebut yang mengakibatkan peningkatan pada pembiayaan dan pembayaran konpensasi.

6. Secara langsung masyarakat adat/lokal mendorong pihak perusahaan harus melakukan perubahan pola pendekatan pada rencana kerja awal untuk pembukaan areal perkebunan kelapa sawit melalui “Inventarisasi” terlebih dulu, tidak melakukan lazimnya saat ini yakni “Kadastral”. Sehingga “Sejarah Kepemilikan Tanah/Lahan” yang dibuat masyarakat adat/lokal dapat teridentifikasi dengan baik dan akan membuat kemudahan-kemudahan proses berikutnya.

Palangka Raya, 09 September 2007


Andi Kiki

(Anggota SW / Koord. Advokasi MA-LAMAN)


[1] Pasal 1 “Konvenan Internasional Hak Sosial, Ekonomi, Budaya “

[2] Investigasi Dan Monitoring Kasus di PT. Mustika Sembuluh tahun 2002 (Doc. YTT & Sawit Watch)

Investasi : Kontribusi ”SUDAHKAH ?”

Asumsi Kasus : Perkebunan Skala Besar (PBS) di

Kalimantan Tengah

Abstrak

’Perusahaan yang tumbuh memberikan deviden yang lebih kecil daripada perusahaan yang tidak tumbuh karena laba yang ditahan yang dihasilkan perusahaan, sebagian besar dialokasikan untuk melakukan ekspansi.’

Kutipan tulisan diatas, saya dapat dari JURNAL BISNIS DAN EKONOMI, SEPTEMBER 2002,ANALISIS PERBEDAAN PERUSAHAAN TUMBUH DAN TIDAK TUMBUH oleh Yetty Iswahyuni dan L. Surayanto (Fak. Ekonomi Dipenogoro Semarang). Artinya jelas, bahwa investasi yang tumbuh dan berkembang, diakibatkan peningkatan ”Laba” dihasilkan dari usaha / produk lainnya di perusahaan, sebagai perluasan nilai investasi.

Penunjukkan adanya indikasi pada investasi yang notebenenya adalah perusahaan terhadap upaya peningkatan nilai investasi yang dapat memperluas nilai ”Laba”nya, bisa kita tinjau di Perusahaan Besar Swata (PBS). Disebabkan Perusahaan Besar Swasta (PBS) dalam memperlakukan investasi melalui usaha yang diawal, mesti cepat dan menguntungkan. Misalkan usaha di sektor agro bisnis, disebabkan lagi usaha ini dalam penanganannya lebih mudah pengurusan investasi, mulai proses perijinan sampai pada perlakuan yang cukup cepat untuk mendapatkan hasil.

Asumsi kasus yang diambil untuk menelaah ”Investasi ?! : Kontribusi ?!”berkenaan dengan sektor agro bisnis adalah pengembangan perkebunan kelapa sawit yang berskala besar. Usaha pada sektor ini cukup menjanjikan, meski nilai investasi juga lumayan besar di keluarkan pada tahap awal yang harus di keluarkan, yakni ± 4 Miliar (Ijin Prinsip)[1]. Belum lagi akan ditambah pada proses oprasional kebun serta pembayaran nilai konpensasi pada penduduk yang mempunyai lahan di areal kebun tersebut.

Untuk itu melalui tulisan ini, saya akan memberikan gambaran sederhana terkait nilai investasi suatu perusahaan terhadap pengembangan daerah dan melihat implikasinya pada kontribusi ke masyarakat adat/lokal setempat yang tersistematis. Tinjauan kasus yang akan saya coba paparkan, dapat memberikan pemahaman kritis untuk menilai produk investasi yang selama ini selalu dikatakan berkontribusi besar terhadap kesejahteraan masyarakat adat/lokal setempat, khususnya, maupun pada umumnya upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi pemerintah daerah sendiri.

Melirik kehidupan ekonomi masyarakat adat/lokal selama ini yang pola ketergantungan lebih banyak pada ketersediaan potensi alam yang diolah dan menghasilkan bagi pemenuhan sehari-hari, selalu terkepinggirkan oleh sistem ekonomi pasar yang dikuasai untuk memperkaya investasi tetapi tidak untuk memberdayakan investasi. Contohnya, bila pemerintah daerah sebagai bagian pelaksana sub terkecil dari negara, maka mesti lugas untuk menyatakan bahwa asset mesti dihitung pula orang yang hidup di dalam negara itu sendiri, yakni masyarakat adat/lokal. Tetapi pemerintah daerah hanya menghitung asset adalah materiil yang bersifat tidak bergerak, namun dapat diolah dan di manfaatkan, seperti tanah, air, udara, hutan dan seterusnya.

Melalui tulisan sederhana ini, kita mungkin akan mendapatkan kondisi ketidak seimbangan secara kongkrit posisi investasi terhadap asset yang masih jauh untuk dikatakan berkontribusi terhadap pengembangan masyarakat adat/lokal di daerah. Selain itu juga, kita akan menilai kemurnian niat investasi tersebut untuk memberikan ruang ekonomi yang kompromis terhadap pemberdayaan masyarakat adat/lokal.

***

I. Penjelmaan Investasi terhadap Kontribusi Tidak Menguntungkan

Pilihan pemerintah daerah untuk mengundang dan mendorong para investor masuk dalam skema ekonomi daerah melalui sektor perkebunan kelapa sawit, cukup menjanjikan bagi peningkatan nilai pendapatan daerah sendiri. Hal ini disebabkan ada beberapa faktor sebagai motivasi, diantaranya ; untuk mempercepat proses pengembangan dan pembangunan di daerah yang diharapkan implikasinya bukan saja menjawab kegelisahan perekonomian masyarakat adat/lokal, tapi juga akan memberikan nilai tambah pada pemerintah daerah tentang berhasilnya menjawab tantangan investor untuk kemudahan berinvestasi.

Beranjak dengan motivasi tersebut, ada beberapa hal kekurangan yang tidak dicermati oleh pemerintah daerah terhadap ketidak seimbangan investasi dengan kontribusi pada masyarakat adat/lokal setempat melalui pengambilan retrebusi tersistematis terhadap nilai investasi dari sebuah perusahaan. Kekurangan yang dimaksud diantaranya, pemerintah tidak memperhitungkan implikasi positif dari adanya perusahaan sebagai bagian produk investasi terhadap kelayakan hidup ekonomi secara mikro.

Sejauh ini belum ada secara implisit melakukan kajian pada perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit (PBS) yang menghitung adanya putaran uang dari berbagai transaksi, baik jual beli maupun sewa menyewa barang di 1 wilayah bersama adanya masyarakat adat/lokal setempat. Misalkan berapa total dalam 1 hari adanya nilai transaksi jual beli maupun sewa menyewa barang yang tidak dihitung. Padahal secara makro hal tersebut merupakan bagian prestasi perusahaan untuk meningkatkan legitimasi yang terukur bagi bursa saham mereka di tingkat nasional ataupun internasional. Disebabkan ada 2 faktor yang mempengaruhi prestasi tersebut menunjang jaminan bursa saham mereka selalu meningkat, minimal bertahan, yakni :

1). Perusahaan mampu menjawab tantangan krisis ekonomi berbasis pendapatan daerah yang berkontribusi pada masyarakat adat/lokal setempat.

2). Perusahaan mampu melalui nilai investasinya dapat menciptakan pengembangan ekonomi alternatif berbasiskan pemberdayaan masyarakat adat/lokal setempat.

Padahal, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang masuk pada kategori perusahaan tidak tumbuh, namun dapat berkembang dan menjadi produk andalan yang cukup menjanjikan bagi daerah, tidak secara langsung menenggelamkan produk investasi asli daerah (misal, tanah, hutan dan sungai). Dan kalau membuat perbandingan perhitungan, masih punya kelayakan pada nilai inevstasi jangka panjang yang diperuntukkan bagi kehidupan generasi akan datang. Namun pihak pemerintah daerah seakan-akan menutup segala bentuk kemungkinan pengembangan investasi asli daerah tersebut. Kalau saja ada program pemerintah daerah sekarang yang mempunyai kepedulian untuk pengembangan investasi asli daerah tersebut, hanya sebagai penyimbang bagi sistem pasar nasional maupun internasional yang dianggap menjaga kestabilan kebutuhan para produsen swasta lainnya dan keamanan ekonomi negara.

Jika pemerintah daerah berpikir dan melakukan hal yang sama seperti perusahaan, dimana bukan saja selalu menjual investasi asli daerah dalam bentuk potensi tenah, hutan dan sungai tetapi berupaya mengembangkan melalui memfasilitasi masyarakat adat/lokal dalam mempermudah untuk memproduksi, maka tidak menjadi kondisi saat ini. Hal ini disebabkan pemerintah daerah sebagai bagian sub pelaksana kebijakan negara tidak menempatkan adanya rakyat atau masyarakat adat/lokal sebagai bagian asset yang mestinya dihitung nilai investasinya. Tetapi negara hanya menghitung bentuk asset seperti tanah, hutan dan sungai. Maka masyarakat adat/lokal terkepinggirkan dalam hak-hak perimbangan ekonomi yang seharusnya di fasilitasi oleh pemerintah daerah. Namun masyarakat hanya dijadikan bagian asset yang selalu mengkonsumsi tidak menjadi produsen yang utuh. Karena perlakuan dan sikap pemerintah daerah terhadap investasi dari luar, mengalahkan nilai investasi asli daerah yang sebenarnya merupakan bagian asset yang selalu dipelihara serta dijaga keberlanjutannya.

Jadi sebenarnya, apa menguntungkan investasi luar dapat berkontribusi penuh pada kesejahteraan masyarakat adat/lokal ?.

II. Pola Konsumtif Pengaruhi Nilai Investasi Asli Daerah

Perhitungan nilai investasi asli daerah, sangat diyakini belum membuat perhitungan yang matang dan jelas. Dikarenakan perimbangan untuk memenuhi tanggung jawab pemerintah terhadap masyarakat adat/lokal melalui pendistribusian hasil dari retribusi, belum menjawab fasilitas yang dibutuhkan mereka. Sehingga, wajar masyarakat adat/lokal masih ada yang kehidupannya terpuruk (miskin). Dimana biaya kesehatan, biaya pendidikan masih mahal. Bahkan kebutuhan pokok pun makin meningkat. Padahal, jika pemerintah fear sekali lagi menegaskan, bahwa masyarakat adat/lokal merupakan asset yang akan menjadi bagian alat produksi negara, mestinya dipelihara dan difasilitasi berbagai kebutuhannya.

Konsumtif yang melekat pada masyarakat adat/lokal, semestinya dihitung berapa dalam 1 hari mereka melakukan transaksi jual beli dan tidak disadari menyumbang pada keberlanjutan roda ekonomi negara. Jika dihitung, maka pemerintah daerah seharusnya berubah pemikiran untuk memberdayakan masyarakat adat/lokal sebagai bagian ”alat” produksi yang mesti difasilitasi berbagai kebutuhannya. Tidak menterpurukkan masyarakt adat/lokal bagian mengkonsumsi yang menjadi pola tersistematis dan meligitimasi kekokohan serta keberadaan investasi luar untuk dibahasakan sebagai pemenuhan kebutuhan dan pemberdayaan ekonomi lokal.

Pola konsumtif yang ada saat ini di masyarakat adat/lokal dan seiring perubahan jaman, makin memperkuat asumsi bahwa nilai investasi asli daerah tidak ada apa-apanya. Hal ini diperkuat bila ditinjau dari penghitungan nilai ekonomi yang kompromis. Artinya, masyarakat adat/lokal sebenarnya sudah memiliki posisi yang kuat sebagai pemilik asset dan sebagai pelaku bagian yang mestinya dihitung didalam nilai investasi negara untuk dijadikan penawaran yang logis dan dinegosiasikan kebutuhan serta perlakuan ekonomi yang mestinya berimbang dengan investasi luar. Selama negara melalui pemerintah daerah tidak memfasilitasi kebutuhan masyarakat adat/lokal dan tidak mengakui keberdaan meraka untuk menegosiasikan nilai investasi yang dimiliki dan mengatakan dengan tegas pada dunia usaha pasar nasional maupun internasional, selama itu pula masyarakat adat/lokal tetap menjadi masyarakat konsumtif. Dimana selalu dikatakan ”Tidak Mampu (Skill)”, ”Tidak Punya Aturan”, ”Tidak Punya Wawasan” dan seterusnya oleh pelaku usaha luar.

Kasus yang mungkin dapat menjadi tinjauan menilai ekonomi yang tidak berimbang pada perlakuan pemerintah daerah terhadap masyarakat adat/lokal, dapat dilihat secara nyata di kehidupan sekitar perusahaan perkebunan kelapa sawit skala besar (PBS). Dimana nilai investasi asli daerah tidak ada apa-apanya dibandingkan nilai investasi usaha luar yang keberadaannya menjadi legitimasi bahwa masyarakat adat/lokal miskin.Hal ini dicermati ada beberapa faktor yang dapat menjadi asumsi, mengapa saat ini terjadi?, diantaranya : asset masyarakat adat/lokal (tanah, hutan dan sungai) sudah tergantikan menjadi sawit dan menjadi komoditi yang laris bagi perusahaan untuk mengikat mereka menjadi buruh. Sehingga kebutuhan keseharian mereka terpenuhi bukan dari pendapatan buruh tersebut, tetapi akan kembali meningkatkan nilai investasi luar (Image Usaha Pengaruhi Saham), disaat buruh membeli berbagai kebutuhannya yang tersedia di sekitar areal perusahaan. Misalkan, pasar yang dibangun perusahaan, beli motor melalui kredit yang dijamin perusahaan, bermain billiar karena adanya perusahaan dan seterusnya.

Faktor yang diasumsikan diatas, dapat kita lebih cermati dengan salah satu hasil penelitian yang mengeluarkan teori usaha yang dilakukan oleh perusahaan yang akan berkembang, seperti dibawah ini :

”Dasar teori yang digunakan adalah Smith and Watts (1992) menyatakan perusahaan yang berkembang akan memberikan gaji yang lebih besar kepada para eksekutifnya, dibanding dengan perusahaan yang tidak berkembang. Tingginya gaji ini disebabkan karena proses penyeleksian proyek-proyek investasi dianggap sebagai tugas yang perlu imbalan yang lebih tinggi daripada tugas mengawasi aset-aset perusahaan.”

Maka sangat wajar perlakuan ekonomi yang diterafkan perusahaan terhadap bentuk investasinya, mesti ada ”Keuntungan” balik terhadap pengurusan mata usaha yang akan memperkaya investasi, tetapi bukan memberdayakan investasi tersebut melalui pekerja level tinggi di perusahaan.

Untuk itu pola kosumtif yang selama ini tersistematis berada di masyarakat adat/lokal, bukan menjadikan ukuran pemerintah daerah, bahwa rakyatnya sejahtera atau tidak miskin lagi. Padahal pengaruh pola konsumtif masyarakat adat/lokal, malah mempengaruhi nilai investasi asli daerah (hutan, tanah dan sungai) jadi tidak punya harga terhadap pelaku usaha luar. Dan negara Indonesia selalu dikatakan tidak punya daya untuk memperdayakan investasi yang mestinya menjadi asset yang sangat tinggi nilainya, bila masyarakat adat/lokal difasilitasi kebutuhan untuk mengolah, mengelola dan memeliharanya sebagai hasil produk yang dapat bersaing di pasar nasional serta internasional.

III. Kesimpulan dan Rekomendasi

a). Kesimpulan :

Tulisan yang saya paparkan diatas, dapat memberikan kesimpulan yang memberikan pemahaman kritis berkenaan produk investasi luar belum sebanding dengan kontribusi pemerintah daerah terhadap masyarakat adat/lokal. Kesimpulan yang dimaksud adalah :

1. Pemerintah daerah tidak banyak tanggap terhadap permainan pasar yang sangat menguntungkan pelaku usaha luar melalui saham yang dapat meningkatkan nilai investasinya di negara asalnya. Saat perusahaan memberikan berbagai perlakuan ekonomi yang sifatnya memberdayakan masyarakat adat/lokal disekitar usahanya dan menjadikan nilai plus bagi peningkatan saham meraka. Sementara pemerintah hanya dapat kontribusi melalui penghitungan pajak (Retribusi) di level makro. Sehingga wajar bila pajak yang diterima oleh daerah masih sedikit dibandingkan dengan kontribusi masyarakat adat/lokal yang menjadi konsumtif lebih besar pemasukannya ke daerah.

2. Negara melalui pelaksananya yakni pemerintah daerah tidak memasukkan masyarakat adat/lokal sebagai bagian terpenting di dalam penghitungan nilai investasi asli daerah dalam bentuk asset. Sehingga pemerintah daerah hanya berpikir menjual asset yang memiliki nilai jual skala makro (hutan, tanah dan sungai) pada pelaku usaha luar dan menjadikan masyarakat adat/lokal hanya sebagai pelaku bersifat konsumtif yang memperkuat nilai investasi luar terhadap nilai investasi asli di tingkat lokal.

3. Negara melalui pemerintah daerah tidak punya BERGAIN POSITION yang jelas berkenaan upaya perbaikan ekonomi terhadap pelaku pasar nasional dan internasional, sehingga perlakuan 2 pasar tersebut melalui pelaku-pelaku usaha tetap mengintervensi segala bentuk perubahan kebijakan ekonomi negara dengan pengembangan dan memperkaya investasi mereka yang selalu mendiskreditkan nilai investasi asli daerah melalui asset yang tersedia saat ini (hutan, tanah dan sungai).

b). Rekomendasi :

1. Negara melalui pemerintah daerah setempat, agar membuat kajian dan perhitungan yang matang dalam memperlakukan kebijakan ekonomi lokal terhadap bentuk investasi luar, agar sistem penguasaan daerah masih tetap sebanding terhadap asset yang punya nilai investasi asli daerah tidak banyak dikuasai oleh pelaku usaha luar pula. Maka pemerintah mesti dan wajib selalu fasilitasi berbagai kebutuhan produksi masyarakat adat/lokal yang berawal dari pemberdayaan asset yang ada (rotan, karet dan seterusnya)

2. Negara melalui pemerintah daerah mesti mengakui keberadaan masyarakat adat/lokal di wilayah Indonesia secara umum, khususnya Kalimantan Tengah, yang bukan saja keberadaannya, tetapi posisinya yang mesti berimbang dengan pelaku usaha luar (Hak) dalam upaya pemberdayaan nilai investasi asli daerah.



Andi Kiki

(Anggota SW / Koord. Advokasi MA-LAMAN)



[1] Sumber LIRA (Lumbung Informasi Rakyat)

“Larangan Bakar LAHAN, Petani Tradisonal SENGSARA”

Penanggulangan kebakaran lahan di Kalimantan Tengah, sudah cukup lama terdengung sejak tahun 2002 sampai dengan 2006 lalu, dimana upaya yang dilakukan oleh pemerintah provinsi sampai pada pemerintah terkecil tingkat desa, kala itu masih tergolong hanya “himbauan”. Bentuk himbauan yang disampaikan pada masyarakat masih sebatas “Pelarangan” melalui media cetak dan berkomunikasi langsung yang dilakukan oleh pejabat setempat.

Memasuki tahun 2007, pemerintah Indonesia melalui kebijakannya, yakni Inpres yang dikeluarin tanggal 14 Juli 2007, mulai serius untuk penanganan bencana asap yang ditimbulkan oleh kebakaran lahan/hutan. Melalui kebijakan tersebut, selanjutnya diturunkan pada pemerintah-pemerintah daerah yang tersebar di Indonesia, diantaranya Kalimantan Tengah. Memang sebelumnya di Kalimantan Tengah sudah ada Perda No. 07 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan di wilayah Kota Palangka Raya. Namun dianggap pemerintah provinsi belum menyentuh pada target meminimalisir, bahkan sampai menghilangkan sama sekali bakar hutan/lahan tersebut.

Beracuan kebijakan pusat berkenaan pelarangan bakar hutan/lahan, maka pemerintah provinsi mengeluarkan produk turunannya, yakni Perda No. ...tahun 2007, tentang Pendayagunaan Tanah Terlantar Produk kebijakan ini saat disosialisasikan melalui kerja sama dengan CKPP (Central Kalimantan Peatland Programe) pada tanggal ....di tempat aula...Unpar. Pertemuan yang dihadiri langsung oleh Gubernur, Kapolda dan unsur muspida lainnya Dimana melalui pernyataan Gubernur, menekankan larangan bakar lahan, meski dalam bentuk apapun, diantaranya berladang. Ternyata banyak mengundang tanda tanya dan respon dari berbagai pihak terutama, kalangan NGo, Akademisi serta masyarakat. Respon yang mereka sampaikan sangat terhadap produk kebijakan tersebut, menurut mereka dinilai sangat mendiskriditkan budaya atau tradisi berladang sejak jaman dulu di masyarakat yang konsekwensinya adalah akan memotong mata rantai proses perladangan dan implikasi lainnya akan lebih memiskinkan kaum tani tradisonal yang sangat bergantung pada kebutuhan padi..

Mengingat pada sejarah berladang masyarakat dayak, khususnya di Kalimantan Tengah yang pernah ditulis dan dimuat di media Kalteng Post pada tanggal 20 Oktober 2002 dengan judul “ Ladang Berpindah, Tradisi Leluhur Masyarakat Dayak”. Isi dari tulisan tersebut intinya lebih pada mengupas proses demi proses yang menghantarkan tata cara berladang berpindah atau lebih dikenal dengan sebutan “Budaya Malan”, dimana disinggung sedikit didalamnya cara membakar pada musim kemarau yang telah dihitung oleh masyarakat dayak tersebut. Kebutuhan berladang melalui tradisi yang sudah ada, lebih pemenuhan kebutuhan pangan keluarga.

Dalam perkembangan selanjutnya tradisi tersebut hanya dimiliki dan dilakukan oleh sedikit masyarakat dan itupun lebih banyak kalangan tua, sementara yang muda kebanyakan merantau atau sekolah diluar. Artinya statment yang pernah dilontarkan oleh beberapa kalangan pemerintah maupun pihak lainnya (Perusahaan perkebunan kelapa sawit), dimana mengatakan “Peladang berpindah sebagai pelaku utama timbulnya kebakaran hutan/lahan alias sebagai kambing hitamnya”.Padahal hal tersebut sangat salah dan mesti dilihat kembali, bila dibandingkan dengan luasan perkebunan kelapa sawit yang acapkali juga melakukan pembakaran hutan/lahan diarealnya.

Justru itu pemerintah provinsi mesti mencermati implikasi yang tidak baik ini berkenaan kebijakan larangan bakar hutan/lahan bagi masyarakat. Karena asumsinya pendekatan atau pola menilai dan mengeluarkan kebijakan tersebut, pemerintah provinsi lebih pada jumlah pelaku tetapi tidak menyentuh pada luasan areal yang jadi penyebab timbulnya kebakaran hutan/lahan. Dan kalau dihitung secara terbuka, areal perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah ini yang lebih luas dari pada lahan yang dimiliki oleh para petani tradisonal, yakni masyarakat. Dibawah ini asumsi hitungan berdasarkan jumlah penduduk dalam 1 wilayah kabupaten (Contoh Kab. Kotawaringin Timur), yakni sebagai berikut :

Tabel Asumsi (4 Kecamatan di Kabupaten Kotawaringin Timur)

No

Kecamatan

Desa

Kepala Keluarga

(KK)

Luas Lahan

( Ha )

Persentasi Peladang

( % )

Bakar Ladang

( ± Ha )

1

Teluk Sampit

4

1. 585

1. 855

60

1. 500

2

Mentaya Hilir Selatan

8

4. 222

1. 320

45

1. 000

3

Pulau Hanaut

6

3. 873

1. 190

20

8. 00

4

Mentaya Hilir Utara

7

2. 006

215,9

10

2 00

Sumber Data Basis Asumsi :Rekapitulasi Tani, Nelayan dan Keluarga Miskin 2006, Bapeda- Kab. Kotawaringin Timur (Sampit)

Beranjak tabel asumsi diatas, maka cukup jelas bila pemerintah provinsi pendekatan pada pelaku pembakar hutan/lahan, petani tradisonal tidak ada apa-apanya sebagai pelaku pembakar. Karena luasan ladang yang mereka miliki tidak sebanding dengan luasan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang minimal 7.000 s/d 12. 000 ha dalam 1 (satu) areal perusahaan. Tetapi bila pemerintah pendekatan pada “pelaku/orang” jumlah para peladang yang banyak dibanding perusahaan di Kalimantan Tengah dan si peladang (masyarakat dayak) yang tetap akan “kalah” terhadap kebijakan tersebut.

Himbauan yang pernah dilontarkan oleh Presiden RI pada tanggal 16 Maret 2006 (Kalteng Post) judul “Prihatin “Ekspor” Asap, sangat jelas dan lebih menitik beratkan pada perusahaan perkebunan kelapa sawit sebagai bagian yang berkontribusi besar timbulnya “Asap” dari pembakaran lahan. Bila dikutip himbauan beliau, yaitu “Presiden meminta pemerintah daerah bekerjasama dengan pengusaha perkebunan sawit untuk menghilangkan praktik pembakaran hutan guna pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit”.

Kalau boleh dikatakan kebijakan pelarangan bakar hutan/lahan bagi siapa pun yang sudah ditegaskan oleh pemerintah provinsi Kalimantan Tengah, lebih terkesan diskriminasi terhadap keberlanjutan hidup petani tradisonal (masyarakat dayak). Hal ini dapat dicermati melalui sejauh mana efektifitas dan efesiensi yang tidak berimbang berkenaan kebijakan ini dilaksanakan lebih menekankan pada petani tradisonal tersebut. Secara efesiensi dapat tercapai dengan baik, yakni pengurangan dan menekan angka kebakaran hutan/lahan yang menimbulkan asap, sementara tidak efektif terhadap pemenuhan pangan bagi petani serta berdampak pada masyarakat luas di Kalimantan Tengah, misal alternatif pemenuhan kebutuhan salah satu sembako (beras). Selain itu pemberlakuan larangan bakar hutan/lahan ini juga terkesan tidak banyak menyentuh pada perusahaan perkebunan kelapa sawit. Salah satunya kasus di Kabupaten Seruyan yang diketahui 2 (dua) perusahaan, yakni PT. Sarana Titian Permata dan PT. Hamparan Mas Sawit Permada (Makin Group) melakukan pembakaran hutan/lahan untuk membuka perkebunan kelapa sawit pada tahun 2007, sejauh ini tidak menampakkan hasil yang memuaskan. Sementara petani tradisonal melakukan pembakaran hutan/lahan demi berladang untuk pemenuhan hidup keseharian mereka, langsung di tangkap di Km. 54 Cilik Riwut. Kejadian dan proses penangkapan dilakukan di tahun yang sama dan berselang beberapa bulan saja.

Jadi sangat ironis sekali pemerintah provinsi dan didukung oleh aparat kepolisian yang berwenang serta instansi terkait lainnya di Kalimantan Tengah, memberlakukan kebijakan pelarangan bakar hutan/lahan tidak menyeimbangkan penderitaan dan kesengsaraan yang “dipaksakan” lebih pada para petani tradisional (masyarakat dayak). Sementara kewajiban yang mesti dipenuhi oleh pemerintah provinsi pada masyarakatnya, terutama petani tradisional yakni melindungi, memberikan kenyamanan dan memfasilitasi berbagai kebutuhan mereka tidak terpenuhi dengan baik.

Masyarakat dayak yang kebanyakan peladang telah sengsara akibat kepentingan pemerintah provinsi terhadap kepentingan negara yang melegitimasi hujatan dari negara tetangga. Tidak secara langsung negara telah mengakui bahwa kontribusi terhadap asap yang ditimbulkan bahwa dari Indonesia, terlebih dari Kalimantan Tengah. Kebijakan larangan membakar hutan/lahan, memang sangat disadari seperti “buah Simalakama”, dimana disatu sisi kita penggiat dan aktivis lingkungan menghujat pemerintah dulunya untuk berbuat kongkrit dalam penanganan kebakaran hutan/lahan, namun saat ini kita dihadapkan pada masyarakat yang selalu kita bela untuk kepentingan bersama. Hal ini menurut cermat saya, ada beberapa faktor yang membuat berbeda antara NGo dan pemerintah provinsi terkait kebijakan larangan bakar hutan/lahan tersebut. Diantaranya, perspektif dalam pemahaman pemberlakuan dan perlakuan pada pihak yang di indikasikan sebagai pelaku pembakaran hutan/lahan harus “BERBEDA”, antara NGo dan pemerintah provinsi.

Menurut saya, kebijakan baru yang keluar dan pemberlakuan yang masih dini terhadap petani tradisonal (masyarakat dayak), tidak dibarengi dengan solusi atau konsep pemerintah yang dapat memberikan peluang untuk kelonggaran pelaksanaan pada petani tersebut. Padahal masyarakat dayak sudah menghadapi kebutuhan hidup yang makin meningkat sementara pemenuhan keseharian mereka, makin sempit. Terbukti, pemberantasan illegal loging sudah motong mata rantai hidup ekonomi mereka yang tidak diberengi pula dengan solusi, ditambah dengan kebijakan pelarangan bakar hutan/lahan, saya pikir makin menenggelamkan keberlanjutan sistem hidup keseharian masyarakat dayak sebagai petani tradisional. Disamping itu pula, tradisi yang sudah berpuluh-puluh tahun lalu, hilang dan makin menterpurukkan posisi masyarakat dayak pada peminggiran hak serta peran bersama dalam pembangunan di daerah.

Untuk itu, menurut saya, ada beberapa hal yang mesti dilakukan oleh masyarakat dayak sebagai petani tradisional dan NGo sebagai pembela hak masyarakat dayak serta sebagai aktivis lingkungan dan pemerintah provinsi sebagai pelaksana kebijakan pusat, diantaranya :

1. Masyarakat dayak sebagai petani tradisional, mesti dan harus memperkuat argumentasi untuk melakukan upaya perlawanan terhadap kebijakan tersebut melalui KONSOLIDASI BASIS serta MENDOKUMENTASIKAN berbagai pengetahuan berkenaan sistem perladangan dan bersama itu pula menginventarisir aturan-aturan adat yang selama ini dipatuhi terkait pemberlakuan perladangan tradisional di wilayah masing-masing.

2. Kawan-kawan penggiat dan aktivis lingkungan, baik dari berbagai kalangan (NGo, Akademisi, Individu), agar mulai MENDISKUSIKAN STRATEGI AKSI dan LOBBY terhadap pemerintah provinsi sampai kabupaten berkenaan upaya pembelaan terhadap masyarakat dayak/petani tradisional melalui inventarisir berbagai kebijakan serta hasil studi ilmiah dan berjaringan pada pihak-pihak luar yang dianggap strategis, dimana dapat mendukung penguatan gerakan basis terkait dengan kebijakan larangan bakar hutan/lahan di Kalimantan Tengah.

Palangka Raya, 16 September 2006

Terima Kasih,

Andi Kiki

(Anggota SW/Koord. Advokasi MA-LAMAN)